LihatJuga. Api di bukit menoreh II Jalan simpang oleh: Mintarja, Singgih Hadi Terbitan: (1979) ; Api di bukit menoreh II Jalan simpang oleh: Mintarja, Singgih Hadi Terbitan: (1979) ; Api di bukit menoreh II Jalan simpang oleh: Mintarja, Singgih Hadi Terbitan: (1979)
> Bagian 1 RADEN MAS RANGSANG benar-benar sedang terhanyut oleh suara alunan ayat-ayat suci itu, sehingga tidak memperhatikan keadaan di sekitarnya. Barulah ketika suara alunan ayat-ayat suci itu telah berhenti, bagai tersadar dari buaian mimpi yang indah, Mas Rangsang baru menyadari bahwa seorang anak muda telah berdiri di hadapannya. Dengan segera Raden Mas Rangsang berdiri dari tempat duduknya. Namun sebelum cucu Panembahan Senapati itu membuka suaranya, justru anak muda itulah yang berkata terlebih dahulu, “Ampun Raden. Jika Raden berkenan, Kiai Ajar Mintaraga mengundang Raden untuk singgah sejenak di gubuk kami.” Raden Mas Rangsang tidak segera menjawab. Dengan kening yang berkerut-merut, sejenak dipandanginya anak muda yang berdiri sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam beberapa langkah di hadapannya itu. Menurut perkiraan putra Panembahan Hanyakrawati itu, usia anak muda itu tentu tidak terpaut banyak dengannya, mungkin hanya satu atau dua tahun lebih tua. “Mengapa engkau memanggilku Raden? Apakah engkau sudah mengenalku?” bertanya Mas Rangsang kemudian sambil menatap wajah yang selalu menunduk itu. Anak muda itu menggeleng. Jawabnya kemudian, “Ampun Raden. Aku tidak tahu siapakah Raden. Guruku Kiai Ajar Mintaraga hanya memberitahuku bahwa di depan gubuk kami telah datang seorang tamu bangsawan dari Mataram dan aku diminta untuk menjemput Raden.” Kembali kening Raden Mas Rangsang berkerut-merut. Sepagi ini sudah dua orang yang mengetahui dengan jelas akan jati dirinya, walaupun dia sudah berusaha untuk menyamar sebagaimana orang kebanyakan. “Siapakah Kiai Ajar Mintaraga itu?” bertanya Mas Rangsang kemudian. “Guruku Raden,” jawab anak muda itu tetap dengan kepala tunduk. “Maksudku, siapakah sebenarnya Kiai Ajar Mintaraga itu?” Sejenak anak muda itu termangu-mangu. Namun akhirnya anak muda itu pun menjawab, “Ampun Raden. Kiai Ajar Mintaraga adalah seorang Pertapa yang tinggal di pertapaan Mintaraga di puncak perbukitan Menoreh. Selebihnya aku tidak tahu.” Raden Mas Rangsang menarik nafas dalam-dalam. Betapa pun juga dia tidak akan dapat memaksa anak muda di hadapannya itu untuk memberi keterangan lebih jauh tentang Kiai Ajar Mintaraga. “Baiklah, aku menerima tawaran Gurumu untuk singgah di pondok kalian,” Mas Rangsang berhenti sebentar. Kemudian sambil melangkahkan kakinya menuju ke gubuk reyot itu dia melanjutkan, “Siapakah namamu? Menurut perkiraanku umurmu lebih tua sedikit dariku. Apakah engkau keberatan jika aku memanggilmu kakang?” Anak muda itu membungkuk dalam-dalam sambil menjawab, “Ampun Raden. Namaku Putut Gatra Bumi. Hamba tidak berani untuk menerima panggilan itu dari Raden.” “Ah,” Mas Rangsang tertawa pendek sambil menarik lengan Putut Gatra Bumi, “Marilah Kakang Putut Gatra Bumi. Aku lebih senang memanggilmu Kakang, dan jangan risaukan segala macam suba sita itu. Itu hanya berlaku kalau kita sedang mengikuti sebuah pasewakan agung atau acara-acara lain yang memang mengharuskan kita untuk mentaati paugeran-paugeran yang telah ditentukan.” Putut Gatra Bumi tidak menjawab. Dia hanya menurut saja ketika Pangeran Mataram itu menarik lengannya untuk mengikuti langkah calon penerus Trah Mataram itu menuju ke gubuk. Sebenarnyalah gubuk itu dibuat seperti sebuah panggungan dengan sebuah tangga kecil untuk naik ke atasnya. Dengan sekali pandang, tahulah Raden Mas Rangsang bahwa sebenarnya gubuk itu telah dibuat dengan tergesa-gesa. Gubuk itu sebelumnya pasti tidak ada di tengah hutan itu. Gubuk itu sengaja di buat oleh seseorang hanya beberapa hari yang lalu atau bahkan mungkin baru semalam gubuk itu berdiri. Seseorang tentu dengan sengaja telah membangun gubuk di tengah hutan itu dengan tujuan yang belum diketahuinya. Ketika Raden Mas Rangsang kemudian mulai memanjat anak tangga, terdengar suara sareh dari dalam gubuk menyambutnya, “Silahkan Raden. Mohon maaf aku tidak dapat menyambut kedatangan Raden sebagaimana mestinya karena keterbatasanku. Semoga Raden berkenan dengan keadaan gubuk yang serba sederhana ini.” Raden Mas Rangsang tidak menjawab. Ketika kakinya telah menginjak anak tangga yang terakhir dan kepalanya kemudian melongok ke dalam melalui pintu gubuk yang tidak berdaun, pandangan matanya telah menangkap sesosok tubuh tua renta dengan lemahnya duduk di atas sehelai tikar usang di lantai gubuk yang terbuat dari papan-papan kayu yang kasar. Dengan berpegangan pada kusen pintu yang terbuat dari bambu, Raden Mas Rangsang pun kemudian dengan berjalan jongkok memasuki gubuk yang beratap rendah itu. Sambil beringsut setapak demi setapak dia mendekat ke depan Kiai Ajar Mintaraga. Sedangkan Putut Gatra Bumi ternyata tidak ikut masuk ke gubuk. Ketika Raden Mas Rangsang menaiki tangga, dia hanya berdiri menunggu saja di bawah tangga. ***** Dalam pada itu, Matahari telah memanjat semakin tinggi di langit sebelah timur. Para pekerja yang sedang memperbaiki atap rumah Ki Gede tampak mulai berkeringat. Dibawah petunjuk Ki Jayaraga, mereka bekerja dengan cepat memperbaiki atap yang jebol itu. “Apakah sebenarnya yang telah terjadi?” bisik seorang pekerja yang masih muda kepada kawan di sebelahnya, “Atap itu tidak hanya jebol tapi juga terbakar.” “Aku tidak tahu,” jawab kawannya juga dengan berbisik, “Menurut para tetangga Ki Gede, menjelang dini hari tadi telah terjadi pertempuran di rumah ini.” “Siapa yang bertempur?” kembali pekerja yang masih muda itu bertanya. Kawannya tidak segera menjawab. Kedua tangannya sibuk merangkai lonjoran-lonjoran kayu yang telah dipotong sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan. “Tentu seorang yang sangat sakti telah menyerang rumah Ki Gede,” pekerja yang masih muda itu menjawab sendiri pertanyaannya, “Pintu pringgitan rumah ini pun juga hancur lebur dan terbakar menjadi abu.” “Naikkan kayu-kayunya ke atas!” tiba-tiba terdengar seseorang dari atas atap berteriak memotong pembicaraan kedua pekerja itu. Dengan tergesa-gesa kedua anak muda itu pun segera mengikat kayu-kayu yang telah disusun dengan seutas tali yang panjang. Setelah kayu-kayu itu terikat dengan kuat. Salah seorang segera melemparkan ujung tali yang lain ke atas untuk ditangkap oleh orang yang menunggu di atas atap. Dengan dibantu beberapa orang, kayu-kayu itu pun dengan perlahan-lahan dan sangat hati-hati ditarik ke atas atap. “Semoga sebelum Matahari tergelincir pekerjaan ini sudah selesai,” berkata Ki Gede Menoreh yang ikut mengawasi. Ki Jayaraga yang berdiri di sebelahnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Ya, Ki Gede. Semakin cepat semakin baik. Memang bekerja di bawah terik Matahari akan cukup banyak menguras tenaga.” “Ki Jayaraga benar,” sahut Ki Gede, “Untuk orang-orang yang sudah terbiasa bekerja di alam terbuka dan dibawah terik panas Matahari memang bukan suatu hal yang berat. Akan tetapi alangkah baiknya jika pekerjaan ini segera selesai, sebab pintu pringgitan itu juga belum tersentuh.” “Tadi pagi aku sudah menyuruh salah seorang pembantu laki-laki Ki Gede untuk memesan pintu pringgitan,” berkata Ki Jayaraga selanjutnya, “Mungkin diperlukan waktu sekitar satu pekan untuk membuat pintu pringgitan yang bagus dengan ukiran yang cukup rumit dan njlimet.” “Ah,” desah Ki Gede sambil tersenyum, “Tidak perlu ukiran yang rumit dan njlimet seperti pintu-pintu di istana Mataram. Yang penting pintu itu cukup kuat dan kokoh.” “Agar tidak dapat dihancurkan lagi oleh orang yang mengaku pengikut keturunan Pangeran Sekar Seda Lepen itu,” sahut Ki Jayaraga yang disambut dengan tawa oleh Ki Gede. “Apakah dinding pringgitan itu akan ditutup untuk sementara?” bertanya Ki Gede kemudian. “Ya Ki Gede,” jawab Ki Jayaraga, “Sedang dibuatkan anyaman dari bambu untuk menutup lobang pintu pringgitan sebelum pesanan pintu itu selesai.” Ki Gede mengangguk-anggukkan kepala sambil memandang ke arah pintu regol depan. Tampak beberapa pengawal sedang menyusuri dan mengamati jalur dari regol sampai di kelokan jalan. “Mayat kedua orang yang semalam kita jumpai dekat kelokan itu menghilang,” desis Ki Gede tanpa sadar. Ki Jayaraga menarik nafas panjang. Katanya kemudian, “Memang aneh. Sewaktu kita berkuda dengan kencang melewati kelokan jalan itu semalam, dengan jelas terlihat dua orang terbujur dengan jarak yang tidak berjauhan di tepi jalan.” Ki Gede sejenak merenung. Katanya kemudian, “Mungkin kawan-kawan mereka sempat membawa pergi,” Ki Gede berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Hampir semua orang sibuk memadamkan api sehingga tidak ada yang memperhatikan kedua mayat itu.” “Apakah Ki Gede yakin bahwa kedua orang yang tertelungkup di tepi jalan itu sudah menjadi mayat?” tiba-tiba Ki Jayaraga mengajukan sebuah pertanyaan yang tak terduga. Untuk beberapa saat Ki Gede tidak menjawab. Namun akhir kepala Tanah Perdikan itu berkata, “Menurut pandanganku yang hanya sekilas dini hari tadi, keduanya mengalami luka yang cukup parah. Kemungkinan untuk selamat sangat kecil.” Ki Jayaraga mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa sadar dia berdesis, “Kemampuan Ki Rangga telah merambah pada satu tataran ilmu yang lebih tinggi lagi.” Ki Gede berpaling sekilas. Sambil menarik nafas dalam, Ki Gede pun kemudian ikut bergumam, “Menurut Ki Waskita Ki Rangga sedang mendalami sebuah ilmu yang disebut aji pengangen-angen.” “Ya, aji pengangen-angen,” ulang Ki Jayaraga dengan dada yang berdebaran. Untuk beberapa saat kedua orang itu tenggelam dalam lamunan masing-masing. Mereka benar-benar merasa bangga dan sekaligus takjub melihat perkembangan ilmu Ki Rangga yang semakin matang dan dahsyat. “Ki Gede,” berkata Ki Jayaraga kemudian setelah beberapa saat keduanya terdiam, “Sesuai dengan perintah Ki Patih Mandaraka, Glagah Putih mendapat tugas untuk melawat ke lereng gunung Tidar. Atas perkenan Ki Patih aku akan menyertai perjalanannya.” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab. Sekilas ingatannya segera tertuju kepada orang yang menyebut dirinya Kiai Damar Sasangka dari perguruan Sapta Dhahana di lereng gunung Tidar. “Aku kira semakin cepat Ki Jayaraga berdua berangkat akan semakin baik. Dengan demikian Ki Jayaraga berdua akan mempunyai cukup waktu untuk menyelidiki kekuatan perguruan Sapta Dhahana,” berkata Ki Gede kemudian. “Ya, Ki Gede,” jawab Ki Jayaraga, “Sebenarnya Ki Patih memerintahkan sepasang suami istri itu untuk melaksanakan tugas ini. Namun keberadaan kesehatan Rara Wulan tidak memungkinkan sehingga aku telah menyediakan diriku untuk mendampingi Glagah Putih.” Ki Gede mengerutkan keningnya sejenak. Tanyanya kemudian, “Apakah Rara Wulan sakit?” “O, tidak Ki Gede,” jawab Ki Jayaraga dengan serta merta, “Agaknya pasangan suami istri itu akan segera dikaruniai momongan, jika Yang Maha Agung memang berkenan menitipkan amanahNya.” “O, syukurlah kalau memang demikian,” sahut Ki Gede sambil menarik nafas dalam-dalam, “Semoga karunia itu akan semakin mempererat kasih sayang di antara mereka.” “Ya, Ki Gede. Kita yang tua-tua ini hanya bisa mendoakan.” Untuk beberapa saat keduanya kembali terdiam sambil mengawasi orang-orang itu bekerja. Matahari telah memanjat semakin tinggi dan panasnya semakin terasa menyengat sehingga beberapa orang yang berada di atas atap itu telah melepaskan baju mereka. “Di manakah Ki Rangga dipindahkan?” tiba-tiba Ki Gede bertanya. “Di gandhok sebelah kanan Ki Gede,” jawab ki Jayaraga, “Selama atap itu diperbaiki, ruang tengah itu untuk sementara dikosongkan.” Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Ki Jayaraga, kapan rencana Ki Jayaraga berdua berangkat?” Ki Jayaraga berpikir sejenak. Jawabnya kemudian, “Hari ini aku kira sudah terlalu siang. Kemungkinan besuk pagi-pagi sekali kami berdua akan berangkat.” “Baiklah, aku mohon Ki Jayaraga berdua menyempatkan diri untuk menghadap Ki Patih Mandaraka di Mataram sehubungan dengan peristiwa yang terjadi semalam.” “Benar Ki Gede. Ki Patih harus mendapat laporan secepatnya. Agaknya kebangkitan orang-orang yang mengaku keturunan Pangeran Sekar Seda Lepen itu harus segera diwaspadai dan ditindak-lanjuti. Kejadian di tanah pekuburan kemarin pagi yang telah melibatkan Ki Patih sendiri dan kejadian semalam menunjukkan bahwa mereka mempunyai kekuatan yang tidak dapat diabaikan. Mungkin beberapa perguruan lain telah melibatkan diri selain sisa-sisa murid perguruan Nagaraga itu sendiri. Yang perlu diwaspadai adalah orang yang memiliki keris Kiai Sarpasri itu. Menurut keterangan Ki Waskita, kali ini kekuatan ilmunya memang masih selapis tipis di bawah Ki Rangga, namun aku yakin dalam waktu dekat dia akan segera menempuh laku untuk meningkatkan dan menyempurnakan ilmunya.” Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Berbagai kenangan silih berganti di dalam benaknya. Sejak kejayaan Demak lama dibawah kepemimpinan Sultan Trenggana, kemudian sepeninggal Sultan Trenggana pemerintahan bergeser ke Pajang dibawah pimpinan Sultan Hadiwijaya yang semasa mudanya bergelar Mas Karebet atau Jaka Tingkir. Terakhir wahyu keprabon itu kini telah bergeser ke Mataram dibawah kepemimpinan keturunan Ki Gede Pemanahan yang bergelar Ki Gede Mataram. “Perebutan kekuasan di atas tanah ini selalu saja datang silih berganti,” berkata Ki Gede dalam hati, “Jika setiap orang merasa berhak atas tahta, kedamaian di atas tanah ini tidak akan mungkin dapat tercapai.” “Ki Gede,” berkata Ki Jayaraga kemudian membuyarkan lamunan pemimpin tertinggi Perdikan Menoreh itu, “Aku kira para pekerja itu sudah tidak perlu ditunggui lagi. Jika Ki Gede berkenan, sebaiknya kita ke gandhok kanan sebentar untuk menengok Ki Rangga.” Ki Gede sejenak mengerutkan kening. Katanya kemudian, “Marilah Ki, aku memang ingin bertanya serba sedikit tentang orang yang memiliki keris Kiai Sarpasri itu kepada Ki Rangga.” Demikianlah, kedua orang tua itu pun kemudian segera meninggalkan tempat itu untuk menjenguk Ki Rangga yang untuk sementara waktu berada di gandhok sebelah kanan. *** Dalam pada itu di Tegal Kepanasan, Bango Lamatan sedang duduk berlindung dari teriknya Matahari dibawah bayangan sebuah pohon yang rindang. Wajahnya terlihat gelisah. Sesekali dia berdiri dan berjalan mondar-mandir dibawah pohon di tepi Tegal Kepanasan itu. Entah sudah berapa kali kepalanya mendongak untuk melihat letak Matahari yang masih belum sampai ke puncak. Ketika dia sudah merasa bosan berjalan mondar-mandir, dihempaskan tubuhnya dibawah pohon sambil mengumpat, “Gila! Aku bisa mati kekeringan di sini. Begawan Cipta Hening itu benar-benar gila. Bagaimana jika orang yang akan aku bunuh itu ternyata tidak lewat di Tegal Kepanasan ini? Atau mungkin Begawan itu hanya ngaya-wara saja?” Ketika Bango Lamatan benar-benar sudah hampir putus asa, tiba-tiba indera penciumannya yang tajam lamat-lamat mencium bau harum mewangi yang timbul tenggelam dibawa semilirnya angin pegunungan. “Hem,” desah Bango Lamatan sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam. Bau semerbak mewangi itu memang diluar kewajaran. Untuk beberapa saat Bango Lamatan belum dapat mengambil sebuah kesimpulan apapun tentang bau semerbak mewangi yang semakin lama menjadi semakin tajam. “Aku pernah mendengar dongeng tentang peri gunung,” berkata Bango Lamatan dalam hati sambil mencoba mempertajam indera penciumannya, “Tapi aku yakin itu hanyalah cerita ngaya wara sekedar untuk pengantar tidur kanak-kanak.” Ketika untuk beberapa saat angin kemudian berhenti bertiup, bau semerbak mewangi itu pun tiba-tiba telah menghilang. “Jangan-jangan Begawan gila itu yang membuat ulah!” geram bango Lamatan sambil bangkit berdiri, “Dikiranya aku anak ingusan yang ketakutan begitu mencium bau wangi yang aneh di puncak bukit yang sunyi ini.” Namun ketika angin pegunungan kembali bertiup dan kali ini agak kencang, bau semerbak mewangi itu pun kembali memenuhi udara di tempat Bango Lamatan berdiri, bahkan lebih tajam lagi. “Setan, demit, gendruwo, tetekan!” umpat Bango Lamatan sambil mendengus kesal. Tanpa disadarinya bulu-bulu di sekujur tubuhnya telah merinding. “Mengapa aku menjadi seperti seorang pengecut!” kembali Bango Lamatan mengumpat. Kali ini dengan suara agak keras untuk mengatasi gejolak yang sedang melanda dalam dadanya. “Aku harus mencari sumber bau ini,” berkata Bango Lamatan dalam hati sambil melangkahkan kakinya melawan arah angin, “Dari arah lereng sebelah selatan itu mungkin bau semerbak mewangi ini berasal.” Dengan langkah lebar Bango Lamatan pun kemudian berjalan meninggalkan Tegal Kepananasan menuju ke lereng perbukitan Menoreh sebelah selatan. Ketika Bango Lamatan baru saja akan menuruni lereng yang cukup landai itu, tiba-tiba saja pandangan matanya yang tajam telah melihat sesuatu yang bergerak di bawah sana. Memang jaraknya masih cukup jauh. Di antara batang-batang pohon yang tumbuh menjulang serta gerumbul-gerumbul perdu yang berserakan, tampak bayangan seseorang dengan langkah yang gemulai berjalan menaiki lereng. Semakin lama bayangan itu semakin tampak jelas. Dalam siraman cahaya Matahari yang terang benderang, tampak seorang perempuan muda sedang berjalan perlahan menaiki lereng sebelah selatan. “Siapakah perempuan itu?” tanpa sadar bibir bango Lamatan bergumam. Dengan mengerahkan aji sapta pandulu, Bango Lamatan pun kemudian mencoba melihat lebih jelas perempuan muda yang berjalan dengan gemulai menuju ke arahnya. “He?” seru bango Lamatan dengan nada sedikit tertahan. Darahnya bagaikan tersirap sampai ke ubun-ubun begitu dapat melihat dengan jelas wajah perempuan muda itu, “Siapakah perempuan itu? Alangkah cantiknya! Seumur hidupku aku belum pernah berjumpa dengan perempuan secantik itu!” Tiba-tiba saja dada Bango Lamatan berdesir tajam. Sungguh tidak dapat dinalar, jika di puncak perbukitan Menoreh yang sunyi ini terdapat seorang perempuan cantik dengan bau semerbak mewangi. “Persetan dengan segala dongeng ngaya wara!” geram Bango Lamatan sambil mencoba mengeraskan hatinya. Dengan dada yang berdebaran dia menunggu perempuan cantik itu sampai di hadapannya. Dalam pada itu, perempuan muda yang sangat cantik mempesona itu agaknya sudah mengetahui bahwa kehadirannya telah ditunggu oleh seseorang di atas lereng. Dengan sebuah senyuman yang tak pernah lepas dari bibirnya yang mungil kemerahan, perempuan muda itu pun melangkah semakin dekat ke tempat Bango Lamatan berdiri menunggu. Selangkah demi selangkah perempuan yang bagaikan golek kencana itu menjadi semakin dekat. Bango Lamatan yang menunggu di atas lereng hanya dapat berdiri membeku bagaikan terkena sihir. Sepasang matanya tidak berkedip memandangi sekujur tubuh perempuan muda yang penuh dengan lekuk-lekuk indah. Rambutnya disanggul tinggi sehingga dengan sangat jelas memperlihatkan lehernya yang jenjang dan halus mulus. Beberapa helai anak rambutnya yang berjuntai dengan indahnya tampak beriak-riak tertiup angin pegunungan yang lembut. Sementara sepasang matanya yang bagaikan bintang timur itu menatap bening ke arah Bango Lamatan tanpa ada rasa ragu sedikitpun. Ketika perempuan muda dengan paras cantik bak putri-putri Raja dalam dongeng-dongeng itu tinggal beberapa langkah saja dari tempat Bango Lamatan berdiri, dia segera menghentikan langkahnya dan menghadap penuh ke arah Bango Lamatan. Sementara bau semerbak mewangi yang memang berasal dari tubuh perempuan cantik itu semakin lama menjadi semakin menyengat dan memabokkan. Perlahan tapi pasti, bau semerbak mewangi itu telah merasuki otak Bango Lamatan sehingga dia tidak mampu lagi untuk mempergunakan penalarannya secara jernih. Untuk beberapa saat Bango Lamatan bagaikan membeku di tempatnya. Hanya beberapa langkah di hadapannya sedang berdiri dengan anggunnya seorang perempuan muda yang sangat cantik. Kecantikan yang nyaris sempurna dengan bau semerbak mewangi yang selalu terpancar dari lekuk-lekuk tubuhnya. Bango Lamatan yang sepanjang hidupnya tidak pernah mengikatkan dirinya dengan seorang perempuan pun, kini sekujur tubuhnya bagaikan tersiram banyu sewindu, menggigil seperti orang kedinginan. Namun darah di dalam jantungnya justru telah menggelegak dahsyat bagaikan air mendidih yang secara perlahan tapi pasti mengalir ke seluruh urat-urat nadinya dan memanasi setiap jengkal tubuhnya. “Siapakah Ni Sanak ini?” akhirnya dengan suara parau dan sedikit bergetar Bango Lamatan pun bertanya. Perempuan muda yang kecantikannya bagaikan puteri-puteri dalam dongeng itu tidak segera menjawab, hanya tersenyum manis, bahkan terlalu manis sehingga dengan sekuat tenaga Bango Lamatan harus menahan hasratnya untuk tidak meloncat dan menubruk perempuan muda di hadapannya itu. “Namaku Anjani,” akhirnya perempuan muda itu menjawab dengan suara lembut sambil mengangkat kedua tangannya yang lemah gemulai itu untuk membenahi sanggulnya. Gerakan yang wajar bagi seorang perempuan namun yang hampir saja membuat Bango Lamatan jatuh pingsan. “Anjani?” ulang Bango Lamatan sambil sekuat tenaga menahan gemuruh di dalam rongga dadanya, “Seumur hidupku, belum pernah aku menjumpai perempuan secantik Nimas Anjani ini.” “Ah,” desah Anjani sambil kembali tersenyum manis dan menggelengkan kepalanya yang indah itu, “Aku sudah terbiasa menerima pujian setiap laki-laki yang aku jumpai,” Anjani berhenti sejenak sambil sepasang matanya yang bening itu menatap ke arah Bango Lamatan. Kemudian lanjutnya, “Namun aku merasa selama ini tidak ada seorang pun yang secara tulus memujiku.” “O, tidak tidak! Itu tidak benar,” sahut Bango Lamatan cepat dengan pandangan mata yang tak pernah lepas dari seraut wajah cantik itu, “Ketahuilah. Aku Bango Lamatan, orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra tidak pernah bicara lelamisan. Jika memang hitam, akan aku katakan hitam. Dan jika memang putih, aku pun akan mengatakan putih.” Berdesir dada Anjani begitu menyadari orang yang berdiri di hadapannya ini adalah Bango Lamatan, orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra. Anjani memang belum mengenal bango Lamatan, namun nama Panembahan Cahya Warastra telah sering didengarnya sejak dia bersama Resi Mayangkara berada di Menoreh. “Bukankah Panembahan Cahya Warastra sudah terbunuh dalam perang tanding melawan Ki Rangga Agung Sedayu?” bertanya Anjani dalam hati dengan jantung yang berdebaran, “Kalau yang berdiri di hadapanku sekarang ini adalah Bango Lamatan, orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra, tentu bukan orang ini yang dimaksud oleh kakek Tanpa Aran yang aku jumpai tadi pagi.” Sejenak ingatan Anjani kembali ke beberapa saat yang lalu ketika dia sedang menyusuri hutan di kaki Bukit Menoreh. Matahari baru saja memancarkan sinarnya menerangi pucuk-pucuk pepohonan ketika Anjani menjumpai seorang Kakek sedang duduk bersimpuh di bawah sebatang pohon. Pada awalnya Anjani tidak banyak menaruh perhatian kepada Kakek itu. Namun justru kakek itulah yang telah memanggilnya ketika dia berjalan melewati pohon tempat Kakek itu duduk bersimpuh. “Berhentilah sebentar ngger, apakah aku bisa memohon pertolongan dari angger?” berkata Kakek itu tiba-tiba sambil melambaikan tangan kanannya. Sementara tangan kiri Kakek itu erat memegang sebuah lodong dari bambu yang biasanya untuk menyimpan air. Anjani segera menghampiri kakek yang bersimpuh di bawah pohon itu. Sesampainya di hadapannya, Anjani segera berlutut sambil menyapa, “Siapakah Kakek ini dan ada apakah Kakek memanggil aku?” Sejenak Kakek itu menatap Anjani dengan mata yang buram berlinang air mata. Katanya kemudian, “Ngger, orang menyebutku kakek Tanpa Aran. Sudah sejak semalam aku duduk di sini menunggu seseorang yang dapat aku mintai pertolongan. Syukurlah angger telah lewat dan agaknya Yang Maha Agung memang telah mengirim angger untuk menolongku.” Anjani mengerutkan keningnya. Dia belum mengenal kakek itu dan mungkin sebaliknya kakek itu pun juga belum mengenalnya. Namun mengapa kakek itu begitu yakin dirinya dapat menolongnya? Berpikir sampai disitu, Anjani pun akhirnya bertanya, “Kakek, kita belum pernah saling bertemu apalagi mengenal satu sama lainnya. Apakah kakek yakin aku dapat menolong mengatasi persoalan yang sedang menimpa Kakek saat ini?” Kakek itu tersenyum sareh. Jawabnya kemudian, “Ngger, aku mempunyai panggraita bahwa anggerlah orang yang akan menolong aku. Bukankah angger akan mendaki perbukitan Menoreh?” Anjani tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang terangguk. Kembali orang tua itu tersenyum sareh. Lanjutnya kemudian, “Aku mohon angger berkenan menolongku. Carilah cucuku yang sekarang ini mungkin juga sedang berada di sekitar perbukitan Menoreh. Bujuklah dia agar mau mengurungkan niatnya dan kembali pulang ke rumah.” Sekali lagi Anjani mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian, “Kek, perbukitan Menoreh ini sangat luas. Dimana kah aku harus mencari cucu Kakek? Dan apakah sebenarnya yang sedang dilakukannya di sana?” Untuk beberapa saat kakek itu tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang tertunduk sambil menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah ingin dilonggarkan rongga dadanya dari segala persoalan yang sedang menghimpitnya. Setelah sekali lagi menarik nafas dalam, akhirnya kakek itu pun menjawab, “Ngger, carilah cucuku itu di sekitar tempat yang bernama Tegal Kepanasan. Dia sedang lelaku untuk mencari kayu gung susuhing angin yang menurut wangsit yang diterimanya melalui sebuah mimpi, berada di sekitar Tegal Kepanasan.” Untuk ke sekian kali kening Anjani menjadi semakin berkerut-merut. Dia menjadi sedikit ragu-ragu dengan kakek yang duduk bersimpuh di hadapannya itu. Dia belum pernah mendengar sejenis kayu seperti yang dikatakan oleh Kakek itu. Selebihnya, hanya orang yang tidak dapat menggunakan nalar dengan jernih yang mau melakukan sesuatu hal hanya berdasarkan pada sebuah mimpi. “Bagaimana Nimas Anjani?” tiba-tiba pertanyaan Bango Lamatan telah membuyarkan lamunan Anjani. “Apa maksudmu, Ki Bango Lamatan?” Anjani justru balik bertanya sambil mengerutkan sepasang alisnya yang melengkung indah bak bulan sabit. Sejenak, Bango Lamatan menahan nafasnya sambil memejamkan matanya untuk mengumpulkan keberaniannya. Pengaruh Aji Seribu Bunga dari Anjani ternyata telah memburamkan penalarannya. Katanya kemudian dengan suara bergetar dan penuh tekanan, “Ketahuilah Nimas Anjani. Hanya engkau lah yang telah menjawab mimpi-mimpi di setiap gelisah tidurku selama ini. Yang telah menerangi kegelapan jiwaku akan cinta kasih yang selama ini aku abaikan. Yang menyirami taman hatiku yang selama ini aku biarkan tandus dan gersang. Yang telah…..” “Cukup!” potong Anjani dengan serta merta. Kedua pipinya yang ranum itu kini tampak semakin memerah sehingga menambah kecantikannya saja. “Ki Bango Lamatan!” lantang terdengar suara Anjani sambil membusungkan dada dan bertolak pinggang. Sebuah pemandangan yang membuat orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu harus menelan ludah berkali-kali untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja terasa sangat kering kerontang. Berkata Anjani selanjutnya “Dengar! Aku adalah salah seorang sahabat Ki Rangga Agung Sedayu. Musuh Ki Rangga berarti musuhku juga. Nah, jangan banyak bertingkah. Menyerah sajalah untuk aku bawa ke Tanah Perdikan Menoreh. Engkau harus mempertanggung-jawabkan segala polah tingkahmu selama menjadi pengikut Panembahan Cahya Warastra!” Bango Lamatan sama sekali tidak menjawab. Seolah-olah tidak didengarnya semua perkataan Anjani. Hanya wajahnya saja yang tampak sebentar merah sebentar pucat dengan sepasang mata yang membelalak serta peluh yang bercucuran membasahi sekujur tubuhnya. Anjani yang berdiri di hadapannya itu kini benar-benar bagaikan seekor domba muda yang gemuk di hadapan seekor serigala tua yang kelaparan. Namun, sebelum Bango Lamatan memutuskan berbuat sesuatu untuk memuaskan hasratnya yang hampir meledakkan dada, tiba-tiba saja entah dari mana datangnya, terdengar suara tembang yang ngelangut dibawa oleh semilirnya angin pegunungan. Ana kidung rumekso ing wengi Teguh hayu luputa ing lara luputa bilahi kabeh jim setan datan purun paneluhan tan ana wani niwah panggawe ala gunaning wong luput geni atemahan tirta maling adoh tan ana ngarah ing mami guna duduk pan sirno Sakehing lara pan samya bali Sakeh ngama pan sami mirunda Welas asih pandulune Sakehing braja luput Kadi kapuk tibaning wesi Sakehing wisa tawa Sato galak tutut Kayu aeng lemah sangar Songing landhak guwaning wong lemah miring Myang pakiponing merak Bagaikan tesadar dari sebuah mimpi buruk, perlahan tapi pasti penalaran Bango Lamatan mulai jernih kembali. Pengaruh bau semerbak mewangi yang memabokkan itu bagaikan asap yang tertiup angin, perlahan tapi pasti secara berangsur-angsur menyusut dari dalam otaknya. Untuk beberapa saat Bango Lamatan masih termangu-mangu tidak tahu harus berbuat apa. Namun penalarannya yang mulai jernih segera menyadari tugas apa yang sedang dibebankan di atas pundaknya. “Terima kasih Begawan,” desah Bango Lamatan lirih begitu mengenali suara itu sambil menarik nafas dalam-dalam. Dipenuhi rongga dadanya dengan angin pegunungan yang segar, yang telah terbebas dari pengaruh bau harum mewangi Aji Seribu Bunga. Sedangkan Anjani yang juga mendengar kidung itu bagaikan tersirap darahnya sampai ke ubun-ubun. Rasa-rasanya ada hawa dingin yang tajam menusuk ulu hatinya sehingga untuk beberapa saat Anjani telah menggigil kedinginan, walaupun pada saat itu Matahari hampir mencapai puncaknya. “Gila!” geram Anjani dalam hati sambil menekan dadanya yang terasa sakit dengan telapak tangan kanannya, “Luka dalam dadaku sudah tidak terasa sakit lagi ketika Ki Tanpa Aran tadi pagi memberiku minum dari lodong bambunya, namun kini terasa sakit lagi.” Menyadari Bango Lamatan sudah terbebas dari pengaruh Aji Seribu Bunganya, Anjani segera bergeser surut untuk mempersiapkan diri jika terjadi perubahan sikap Bango Lamatan terhadap dirinya. “Ki Tanpa Aran tadi sudah memperingatkan aku bahwa di Tegal Kepanasan banyak berkeliaran para penjahat dan orang-orang yang bermaksud jahat terhadap cucunya,” berkata Anjani dalam hati sambil bergeser setapak lagi ke belakang, “Mungkin yang dimaksud Ki Tanpa Aran salah satunya adalah orang ini.” “Ngger,” berkata Ki Tanpa Aran kepadanya pagi tadi, “Angger harus waspada pada saat nanti menginjakkan kaki di Tegal Kepanasan. Banyak orang-orang jahat yang menginginkan kayu gung susuhing angin itu dari tangan cucuku. Maka berhati-hatilah ngger.” Demikianlah, pada saat Anjani mulai mendaki lereng perbukitan Menoreh pagi tadi, secara perlahan tapi pasti Anjani telah mengetrapkan Aji Seribu Bunga untuk menjaga segala kemungkinan yang bisa terjadi. “Tidak menutup kemungkinan aku akan menghadapi rintangan lebih dari seorang,” berkata Anjani dalam hati sambil mendaki Perbukitan Menoreh pagi tadi. Dalam pada itu, Bango Lamatan yang sudah benar-benar menyadari jati dirinya segera bersiap. Katanya kemudian, “Luar biasa. Agaknya engkau memiliki sejenis ilmu sihir yang dapat mempengaruhi daya penalaran seseorang. Untunglah Sang Begawan telah menolong aku. Sekarang engkau harus ikut aku menghadap Sang Begawan untuk menjadi tumbal menemani Pangeran Pati Mataram yang juga akan aku bunuh siang ini.” Selesai berkata demikian, tanpa sadar Bango Lamatan mendongakkan kepalanya untuk melihat ke langit. Ternyata Matahari sedang bersinar dengan garangnya tepat di atas ubun-ubun. “Pangeran Pati itu!” seru Bango Lamatan begitu menyadari Matahari telah mencapai puncaknya. Dengan segera dia berbalik dan berlari menuju ke Tegal Kepanasan kembali. Tidak dihiraukan lagi Anjani yang sedang berdiri terheran-heran melihat segala tingkah polahnya. Sejenak kemudian Bango Lamatan yang sudah sampai di Tegal Kepanasan itu dengan pandangan mata yang nanar segera mencari bayangan seseorang. Begawan Cipta Hening telah memberitahu dirinya bahwa Pangeran Pati itu akan lewat di tempat itu tepat saat Matahari di atas ubun-ubun. “Itu dia!” seru Bango Lamatan dengan geram ketika melihat seorang anak muda berjalan dengan tegap dan gagah melintasi gerumbul dan semak belukar menuju ke Tegal Kepanasan. Dengan beberapa kali loncatan saja Bango Lamatan telah berdiri dengan kedua kaki renggang di tengah-tengah Tegal Kepanasan. Dengan bertolak pinggang, Bango Lamatan pun kemudian berseru keras, “Kemarilah Raden! Aku sudah menunggu Raden sedari Matahari terbit pagi tadi.” Pemuda yang sedang berjalan menuju Tegal Kepanasan itu memang Raden Mas Rangsang, Pangeran Pati Mataram. Tanpa ada rasa kecurigaan sama sekali, Putra Mahkota itu tetap mengayunkan langkahnya mendekati tempat Bango Lamatan berdiri menunggu. ***** Berdesir dada Bango Lamatan begitu melihat tatapan mata Raden Mas Rangsang yang seolah berkilat menyala walaupun dalam terik sinar Matahari. Degup jantung orang kepercayaan Panembahan Cahya warastra itu semakin lama semakin kencang seiring dengan langkan Raden Mas Rangsang yang semakin dekat. Ketika langkah Raden Mas Rangsang tinggal enam langkah dari tempat Bango Lamatan berdiri, Pangeran Pati Mataram itu pun menghentikan langkahnya. Sambil menatap tajam ke arah orang yang berdiri di hadapannya, Raden Mas Rangsang itu pun kemudian berkata, “Ki Sanak, aku secara pribadi belum mengenal Ki Sanak. Kalau bukan karena suatu hal yang sangat penting, tentu Ki Sanak tidak akan bersusah payah menungguku untuk sekian lama di tengah Tegal Kepanasan ini.” Bango Lamatan tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Raden benar. Sudah sejak dini hari tadi aku menunggu Raden di tempat ini. Bersiaplah Raden, aku tidak boleh terlambat lagi. Aku tidak ingin Sang Begawan menunggu terlalu lama. Nasib Panembahan Cahya Warastra menjadi taruhannya.” Raden Mas Rangsang mengerutkan keningnya dalam-dalam. Dia benar-benar tidak mengerti arah pembicaraan orang yang berdiri di hadapannya itu. Bahkan namanya pun di belum tahu. “Sebentar Ki Sanak,” berkata Raden Mas Rangsang kemudian, “Aku tidak mengerti apa yang sedang Ki Sanak bicarakan. Bahkan Ki Sanak pun belum memperkenalkan diri.” Beberapa saat Bango Lamatan tertegun. Memang karena ketergesa-gesaannya, dia belum sempat memberitahukan namanya. Namun sebenarnya semua basa-basi itu bagi Bango Lamatan tidak penting. Tujuannya hanya satu, membunuh Putra Mahkota Mataram itu dan menyerahkan jasadnya kepada Begawan Cipta Hening. “Raden,” berkata Bango Lamatan pada akhirnya, “Memang sebaiknya Raden mengetahui keadaan yang sebenarnya sebelum maut menjemput Raden. Ketahuilah Raden, aku Bango Lamatan orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra akan membunuh Raden sekarang juga di tengah Tegal Kepanasan ini sebagai persyaratan yang diminta oleh Sang Begawan untuk menghidupkan kembali Panembahan Cahya Warastra.” Tampak kerut merut semakin dalam di kening Pangeran Pati Mataram itu. Namun lambat laun kerut merut itu memudar seiring dengan sebuah senyuman yang tersungging di bibirnya. “Ki Bango Lamatan,” berkata Raden Mas Rangsang kemudian sambil tetap tersenyum, “Apakah sambil menunggu kedatanganku tadi Ki Bango Lamatan sempat menghabiskan berlodong-lodong tuak? Agaknya Ki Bango Lamatan kurang menyadari dengan apa yang telah Ki Bango ucapkan sendiri. Sebaiknya Ki Bango Lamatan beristirahat saja untuk menenangkan pikiran dan memulihkan kesadaran. Aku mohon jangan ganggu aku lagi. Aku akan meneruskan perjalananku.” “Persetan dengan celotehmu Raden!” bentak Bango Lamatan menggelegar bagaikan guruh di langit, “Raden sangka aku sedang mabok tuak? Tidak Raden, aku sedang bersungguh-sungguh. Lebih baik Raden segera mempersiapkan diri. Bukan salahku jika pada benturan yang pertama Raden dengan sangat mudahnya akan aku lumpuhkan.” Memerah darah wajah Pangeran Pati itu. Dengan suara sedikit keras dia berkata, “Ki Bango Lamatan, aku merasa di antara kita tidak pernah terjadi silang sengketa. Jadi, apakah sebenarnya niat dibalik semua sandiwara Ki Bango Lamatan ini?” Bango Lamatan tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Seperti yang sudah aku katakan. Nyawa Raden akan menjadi tumbal sebagai pengganti nyawa Panembahan Cahya Warastra. Melawan atau tidak melawan, aku akan tetap membunuh Raden.” Kini raden Mas Rangsang menyadari sepenuhnya bahwa orang yang berdiri di hadapannya itu tidak sedang mabok tuak, tetapi benar-benar akan membunuhnya. Tanpa menarik perhatian, Raden Mas Rangsang pun segera mempersiapkan diri. “Ki Bango Lamatan,” berkata Raden Mas Rangsang kemudian masih mencoba mencari jalan keluar, “Apakah mungkin seseorang yang sudah mati itu dapat dihidupkan lagi dengan cara membunuh orang lain yang sama sekali tidak ada hubungannya? Dan selebihnya, aku belum pernah mendengar ada sebuah ilmu yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati.” ***** Kembali Bango Lamatan tertawa. Jawabnya kemudian, “Ketahuilah Raden. Di sebuah goa yang terletak di puncak tertinggi bukit Menoreh ini, tinggal seorang Begawan Sakti yang menguasai ilmu sulih nyawa. Sang Begawan telah berjanji untuk menukar nyawa Raden dengan kehidupan Panembahan Cahya Warastra.” Berdesir jantung Raden Mas Rangsang mendengar keterangan Bango Lamatan. Betapapun juga kata-kata orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu sedikit banyak telah menggetarkan dadanya. “Nah, Raden! Jangan merajuk. Tataplah langit peluklah bumi, jangan rindukan lagi Matahari esok pagi!” Selesai berkata demikian, Bango Lamatan pun segera melancarkan serangannya. Dengan sebuah loncatan panjang, kaki kirinya lurus meluncur deras mengarah ke dada Raden Mas Rangsang yang berdiri beberapa tombak di hadapannya. Raden Mas Rangsang yang telah mempersiapkan diri sebelumnya segera menggeser kedudukannya selangkah ke kiri. Ketika kaki kiri lawannya yang terjulur lurus itu lewat sejengkal dari dadanya, kedua tangan Raden Mas Rangsang itu pun telah berusaha menangkap pergelangan kaki lawannya. Bango Lamatan yang sudah kenyang makan asam garamnya pertempuran itu segera menggeliat di udara sambil menarik kakinya yang terjulur lurus. Demikian kaki kirinya itu berhasil ditarik, sebagai gantinya tangan kanan Bango Lamatan terayun deras memukul tenguk. Tentu saja perawis tahta Mataram itu tidak akan membiarkan tengkuknya patah terkena sambaran serangan lawan. Dengan sedikit merundukkan kepalanya, tangan kanan Raden Mas Rangsang yang justru telah mengancam ulu hati Bango Lamatan. Demikianlah sejenak kemudian pertempuran di Tegal Kepanasan itu semakin lama menjadi semakin sengit. Walaupun Raden Mas Rangsang masih terhitung sangat muda, namun kemampuan olah kanuragan serta kekuatannya benar-benar ngedab-edabi. Ketika sesekali terjadi benturan yang tak terelakkan antara keduanya, Bango Lamatan benar-benar dibuat terkejut bukan alang-kepalang. Kekuatan Pangeran Pati Mataram itu benar-benar setara dengan kekuatan seekor banteng ketaton. ***** Dalam pada itu Matahari telah sejengkal tergelincir dari puncaknya. Sinarnya yang masih garang telah membakar Tegal Kepanasan, namun kedua orang yang sedang menyabung nyawa itu benar-benar sudah tidak mempedulikan keadaan sekitarnya. Keduanya bagaikan dua ekor singa yang sedang berlaga mempertaruhkan nyawa, hidup atau mati. Namun Bango Lamatan adalah tokoh angkatan tua yang jauh lebih berpengalaman dari pada Raden Mas Rangsang. Penggunaan nalar serta perhitungannya lebih matang dari lawannya yang masih muda, sehingga lambat laun keadaan pewaris tahta Mataram itu sedikit demi sedikit terlihat mulai terdesak. “Raden,” berkata Bango Lamatan kemudian sambil terus melancarkan serangan mendesak lawannya, “Lebih baik Raden menyerah. Aku berjanji tidak akan menyakiti Raden di saat-saat terakhir Raden.” “Diam!” bentak Raden Mas Rangsang sambil menloncat mundur beberapa tombak. Melihat lawannya mengambil jarak, Bango Lamatan tidak mengejar. Dia justru berdiri tegak di atas kedua kakinya yang renggang sambil tertawa berkepanjangan. “Sudahlah Raden. Tidak ada gunanya. Menyerahlah!” berkata Bango Lamatan kemudian masih sambil tertawa. Namun suara tertawa Bango Lamatan itu tiba-tiba saja terputus begitu dia menyadari ada sesuatu yang tidak wajar sedang terjadi pada diri lawannya. Tampak sebuah asap tipis kemerah-merahan mengepul dari ubun-ubun Putra Mahkota itu. Sementara dari kedua bola matanya yang sedang memandang tajam kearahnya, muncul selarik sinar kebiru-biruan bagaikan mata seekor kucing yang bersinar dalam gelap. “Sebuah pertanda telah menyatunya wahyu keprabon dalam diri anak muda ini,” berkata Bango Lamatan dalam hati dengan jantung yang berdegup semakin kencang. “Ki Bango Lamatan!” terdengar Pangeran Pati itu menggeram membuyarkan lamunan lawannya, “Atas nama pemerintah Mataram, menyerahlah! Aku akan mengusahakan keringanan hukuman di hadapan Ayahanda Panembahan Hanyakrawati jika engkau menyerah dengan baik-baik. Namun kalau engkau tetap bersikukuh ingin membunuhku, jangan salahkan aku kalau petualangan seorang Bango Lamatan akan berakhir di Tegal Kepanasan ini.” “Ah,” Bango Lamatan tertawa pendek. Katanya kemudian, “Jangan bermimpi Raden, hari masih terlalu siang untuk bermimpi. Sebaiknya Raden menyerah saja secara baik-baik agar urusan ini segera selesai.” Raden Mas Rangsang tidak menjawab. Dengan sebuah bentakan yang menggelegar, Pangeran Pati Mataram itu pun tiba-tiba telah meloncat dengan kecepatan yang sukar diikuti oleh pandangan mata wadag menerjang ke arah lawannya. Sekali ini bango Lamatan benar-benar dibuat terkejut bukan buatan. Kecepatan gerak lawannya bagaikan tatit yang meloncat di udara. Disertai dengan suara angin yang menderu kencang, serangan Raden Mas Rangsang pun melanda Bango Lamatan. Tidak ada kesempatan bagi Bango Lamatan untuk menghindar. Yang dapat dilakukannya kemudian adalah menyilangkan kedua lengannya di depan dada disertai dengan pengerahan tenaga cadangan setinggi-tingginya untuk menahan gempuran ilmu lawannya. Sejenak kemudian terdengar benturan yang dahsyat. Bumi seolah-olah ikut terguncang. Kedua orang yang menyabung nyawa itu sama-sama telah terlempar ke belakangan beberapa tombak sebelum akhirnya jatuh bergulingan di atas tanah. “Setan, Gendruwo, Tetekan!” umpat Bango Lamatan sambil meloncat berdiri. Rongga dadanya terasa sesak dan nafasnya bagaikan tersumbat. Sedangkan Raden Mas Rangsang ternyata telah mengalami goncangan yang membuat dadanya bagaikan retak. Ketika Putra Mahkota itu kemudian mencoba bangkit berdiri, sejenak dia terhuyung-huyung namun dengan cepat segera dapat menguasai diri dan kembali berdiri tegak di atas kedua kakinya yang renggang. “Aji Bajrageni,” geram Bango Lamatan dalam hati. Aji Bajrageni adalah salah satu dari sekian aji jaya kawijayan yang dimiliki oleh Sultan Trenggana penguasa Demak lama. Agaknya aji itu telah diwariskan kepada Mas Karebet, anak menantunya yang kemudian menjadi Sultan Pajang. Tidak menutup kemungkinan bahwa Sultan Hadiwijaya pun kemudian juga mewariskan ilmu itu kepada anak angkatnya yang terkasih, Danang Sutawijaya yang kemudian berkuasa di Mataram. “Anak ini masih sangat muda namun sudah mampu menguasai Aji Bajrageni sedemikian dahsyatnya,” berkata Bango Lamatan dalam hati, “Jika di kelak kemudian hari dia berhasil mematangkan ilmunya ini, dia benar-benar akan mampu menggulung jagad.” Dalam pada itu, Raden Mas Rangsang yang telah mampu memperbaiki kedudukannya segera menarik nafas dalam-dalam untuk melonggarkan dadanya yang bagaikan tertimpa berbongkah-bongkah batu padas yang meluncur dari tebing yang curam. Setelah sejenak memulihkan kekuatannya, Raden Mas Rangsang pun telah siap melancarkan serangannya kembali. Bango Lamatan yang melihat lawannya telah siap melancarkan serangannya kembali segera mengambil sikap. Dia tidak ingin terlambat lagi dan gagal memenuhi permintaan Begawan Cipta Hening. Demikianlah ketika Raden Mas Rangsang telah siap dengan serangannya kembali, tiba-tiba saja dia telah dikejutkan oleh keberadaan lawannya yang tiba-tiba saja telah lenyap dari pandangan matanya. “He! Pengecut!” teriak Raden Mas Rangsang dengan jantung yang berdebaran, “Jangan seperti kanak-kanak yang senang bermain petak umpet!” Bango Lamatan tertawa berkepanjangan mendengar teriakan lawannya. Suara tawanya terdengar bergema memenuhi Tegal Kepanasan sehingga menyulitkan Raden Mas Rangsang untuk melacak keberadaannya. “Silahkan Raden menemukan persembunyianku,” terdengar suara Bango Lamatan bergulung-gulung memenuhi tempat itu, “Alangkah mudahnya bagiku untuk membunuh Raden sekarang ini. Dengan sebuah serangan yang sederhana pun Raden tidak akan mampu menghindarinya.” Raden Mas Rangsang menggeram marah. Dicobanya mengetrapkan Aji Sapta Pangrungu, Sapta Pandulu Bahkan Sapta Pangganda untuk mencari keberadaan lawannya. Namun usaha Pangeran Mataram ini tampaknya sia-sia. Kembali terdengar suara tertawa Bango Lamatan yang menggelegar dan bergulung-gulung memenuhi udara Tegal Kepanasan. Terdengar suaranya di antara tawa yang berkepanjangan, “Raden, menyerahlah! Aku akan menangkapmu hidup-hidup dan tentu Begawan Cipta Hening akan lebih senang jika dapat mengetrapkan ilmu sulih nyawanya ketika Raden masih dalam keadaan hidup. Dengan demikian Panembahan Cahya Warastra akan kembali hidup dengan sempurna.” “Tutup mulutmu!” bentak Pangeran Pati Mataram itu dengan suara tak kalah dahsyatnya. Tiba-tiba tubuhnya meluncur ke depan dengan kekuatan penuh Aji Bajrageni. Namun alangkah kecewanya Raden Mas Rangsang begitu menyadari serangannya hanya mengenai tempat kosong. Justru tanah serta rerumputan liar yang segaris dengan serangan Aji Bajrageni itu bagaikan meledak dan berhamburan ke udara. Butiran-butiran tanah serta rumput-rumput liar itu pun hancur menjadi abu terkena kedahsyatan puncak Aji Bajrageni. “Gila!” geram Bango Lamatan tanpa sadar begitu melihat akibat dari kekuatan puncak Aji Bajrageni, “Ternyata pada kekuatan puncaknya Aji Bajrageni itu mampu membakar sasarannya menjadi abu. Aku tidak menyangka kalau Putra Mahkota yang masih muda itu ternyata telah tuntas mempelajarinya.” Diam-diam Bango Lamatan tergetar hatinya. Pada benturan pertama tadi ternyata Raden Mas Rangsang masih belum sampai ke puncak ilmunya. Dalam pada itu Raden mas Rangsang yang merasa dipermainkan oleh lawannya menjadi semakin marah. Sudah dicobanya untuk mendengar setiap desir langkah lawannya melalui Aji Sapta Pangrungu, atau bayangan sekilas yang mungkin dapat tertangkap oleh Aji Sapta Pandulu, bahkan telah dicobanya pula untuk mengetrapkan Aji Sapta Pangganda barangkali indra penciumannya dapat mengendus bau keringat yang keluar dari tubuh lawannya. Namun semua usahanya itu tampaknya sia-sia. Bango Lamatan benar-benar lenyap bagaikan ditelan bumi. bersambung ke bagian 2 Pages 1 2 3 Read415 from the story Terusan Api Di Bukit Menoreh by AbdulQadir2016 (Abdul Qadir) with 10,719 reads. fiksisejarah. RADEN MAS RANGSANG benar-benar sedang te Jelajahi . Jelajahi; Paid Stories Terusan Api Di Bukit Menoreh. Terakhir diperbarui: Aug 29, 2016. Tambahkan. Daftar Bacaan Baru.
TERUSAN ADBM Lanjutan ADBM versi mbah_man karya mbah_man Padepokan “Sekar Keluwih” Sidoarjo ADBM Seri V Jilid 15 Jilid 415 Bagian 1 TANPA sadar Ki Demang menatap tajam ke arahnya sehingga dengan cepat orang itu menundukkan wajahnya. “Baiklah,” akhirnya Ki Demang tidak dapat mengelak lagi walaupun dengan berat hati, “Panggil Nyi Sekarwangi. Namun tolong sampaikan padanya bahwa tamu kita kali ini adalah Pangeran Pringgalaya, adik Panembahan Hanyakrawati penguasa Mataram.” “Baik Ki Demang,” jawab perangkat Kademangan yang berumur masih muda itu. Tanpa menunggu perintah untuk kedua kalinya, dengan cepat dia segera meninggalkan tempat itu. “Marilah kita membagi tugas” berkata Ki Demang kemudian, “Aku dan dua orang perangkat kademangan saja yang akan menghadap Pangeran Pringgalaya. Sedangkan selebihnya segera menghubungi para Niyaga agar pada saat jamuan makan malam nanti sudah ada gending-gending yang mengiringinya. Setelah itu aku harap semua perangkat Kademangan menemani aku di pendapa.” “Baik Ki Demang,” hampir serempak mereka menjawab. Demikianlah, pertemuan Ki Demang dengan para perangkatnya itu segera bubar. Ki Demang dengan ditemani dua orang segera menghadap Pangeran Pringgalaya di Banjar padukuhan induk kademangan. “Kami mohon maaf telah menyusahkan Ki Demang dan para penghuni Kademangan Ngadireja ini,” berkata Pangeran Pringgalaya sesampainya Ki Demang dan dua orang perangkatnya di pendapa banjar padukuhan induk kademangan. “Ampun Pangeran,” jawab Ki Demang sambil menghaturkan sembah, “Justru Hamba beserta seluruh penghuni kademangan Ngadireja ini lah yang bersyukur dengan kehadiran pasukan ini,” sejenak Ki Demang berhenti. Lanjutnya kemudian, “Dengan kehadiran pasukan Mataram ini, telah menumbuhkan kebanggaan serta tekad yang kuat dari seluruh penghuni Kademangan ini untuk mendukung tetap tegaknya panji-panji Mataram di seluruh tanah ini.” Pangeran Pringgalaya tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Katanya kemudian, “Semoga kehadiran kami ini juga akan menumbuhkan semangat bagi para pemuda Kademangan Ngadireja untuk mengabdikan diri mereka kepada Mataram melalui jalur keprajuritan.” “Hamba, Pangeran,” sahut Ki Demang dengan cepat sambil membungkukkan badannya dalam-dalam. Sejenak kemudian, sebelum jamuan makan malam benar-benar diselenggarakan, beberapa Niyaga telah hadir. Setelah menghaturkan sembah terlebih dahulu kepada Pangeran Mataram itu, mereka segera menempati tempat masing-masing. Untuk beberapa saat para Niyaga itu masih mengatur tata letak gamelan itu agar dapat menghasilkan suara yang indah. Ketika Nyi Sekarwangi kemudian telah hadir di tempat itu pula, suara gamelan yang ngelangut ditingkah suara Sinden yang mendayu-dayu segera saja memenuhi tempat itu. Pangeran Pringgalaya duduk di tengah tengah pendapa di apit oleh para senapatinya menghadap ke arah gamelan. Agak jauh di sebelah kiri duduk Ki Demang beserta seluruh perangkat Kademangan. Sementara beberapa perwira pemimpin setiap pasukan yang diundang pada jamuan makan malam itu duduk berjajar-jajar memenuhi bagian belakang pendapa banjar padukuhan induk kademangan yang cukup luas. Sedangkan para prajurit yang telah mendapatkan jatah ransum makan malam lebih memilih untuk beristirahat di rumah-rumah di sekitar banjar yang dikosongkan. Sebagian lain telah ditampung di banjar-banjar padukuhan kecil di sekitar padukuhan induk. Hanya sebagian kecil saja yang ingin menonton dan berbaur dengan penghuni Kademangan Ngadireja yang tumpah ruah memenuhi halaman banjar, bahkan sampai ke jalan-jalan. Ketika persiapan dirasa sudah cukup, Nyi Demang yang mengatur jalannya jamuan makan malam itu segera memerintahkan para pemuda dan gadis-gadis untuk menghidangkan makanan dan minuman yang terbaik yang ada di kademangan itu. Gadis-gadis dan para pemuda itu telah mendapat pengarahan khusus langsung dari seorang Lurah prajurit yang masih cukup muda tentang tata cara dan suba sita dalam menghidangkan jamuan makan, khususnya kepada Pangeran Pringgalaya yang merupakan adik Panembahan Hanyakrawati, penguasa Mataram. “Begitu kalian menaiki tlundak pendapa yang terakhir, kalian sudah harus dalam keadaan berjongkok. Para pemuda yang membawa nampan tidak usah menyembah, cukup dengan menundukkan kepala dalam-dalam. Sementara para gadis harus melakukan sembah terlebih dahulu sebelum berjalan jongkok mendekat ke arah Pangeran Pringgalaya.” “Apakah kami harus menyembah lagi sebelum menghidangkan jamuan ke hadapan Pangeran?” bertanya seorang gadis yang berwajah manis dengan tahi lalat di ujung bibir sebelah kiri. Lurah prajurit itu sejenak terdiam. Dipandanginya wajah gadis manis dengan tahi lalat di ujung bibir sebelah kiri itu dengan pandangan sedikit liar. Namun begitu disadarinya gadis itu menjadi tertuduk malu, segera saja dilemparkan pandangan matanya ke arah lain sambil berkata, “O, tentu, tentu. Kalian para gadis harus menyembah terlebih dahulu sebelum menghidangkan makanan. Demikan juga ketika kalian telah selesai, kalian harus menyembah lagi sebelum meninggalkan tempat.” “Termasuk kami?” tiba-tiba seorang pemuda memotong. Lurah prajurit itu berpaling. Ketika dilihatnya pemuda yang bertanya itu tiba-tiba saja wajahnya menjadi sedikit pucat, cepat-cepat Lurah prajurit itu pun menjawab sambil tersenyum, “Ya, termasuk kalian para pemuda yang membawa nampan. Setelah nampan kalian kosong, kalian harus melakukan sembah sebelum meninggalkan tempat.” Anak-anak muda yang berada di sekeliling Lurah pajurit itu pun serentak mengangguk anggukan kepala mereka. Dalam pada itu, rombongan berkuda yang membawa Pangeran Jayaraga telah memasuki bulak panjang yang langsung terhubung dengan Kademangan Sangkal Putung. Mereka sengaja tidak memacu kuda-kuda itu dengan cepat agar tidak menimbulkan kesalah-pahaman dengan para penghuni padukuhan yang akan mereka lewati. Namun demikian, tetap saja suara gemuruh derap langkah kuda-kuda di atas tanah berbatu-batu itu telah menggema dan memantul di lereng-lereng bukit sehingga membangunkan para peronda yang baru saja mulai meringkuk berselimutkan kain panjang di gardu-gardu padukuhan. Sedangkan para peronda yang belum tidur dan sedang mencoba mencegah kantuk mereka dengan bermain mul-mulan, sejenak telah menghentikan permainan mereka. “Suara apakah itu, Kakang?” bertanya seorang peronda yang berkulit sedikit gelap. Kawannya yang ditanya untuk beberapa saat tidak menjawab. Hanya kerut-merut di dahinya saja yang tampak semakin dalam. Suara itu memang masih sangat jauh, namun suasana malam yang sepi serta gema dari suara gemeretak kaki-kaki kuda di atas tanah berbatu-batu yang terpantul dari lereng-lereng bukit telah menciptakan bunyi yang aneh dan tidak wajar. “Sepertinya bunyi rombongan orang berkuda,” berkata orang yang dipanggil kakang itu setelah mencoba mempertajam pendengarannya. “Rombongan orang berkuda?” peronda yang berkulit agak gelap itu mengulang dengan wajah yang berubah tegang. Tanpa disadarinya dia berpaling ke arah gardu. Tampak kedua temannya yang baru saja meringkuk berselimutkan kain panjang itu telah menggeliat bangun. “He?” salah satu peronda yang baru bangun itu tersentak bangkit, “Rombongan orang berkuda? Malam-malam begini?” “Kalau pendengaranku tidak salah,” sahut peronda yang dipanggil kakang itu. Segera saja rasa kantuk yang masih bergelayut di pelupuk mata mereka lenyap seketika. Dengan cepat kedua peronda yang berada di dalam gardu itu pun meloncat turun. “Coba kalian dengarkan dengan seksama,” berkata peronda yang tertua, “Kedengarannya seperti rombongan orang-orang berkuda dalam jumlah yang cukup banyak.” “Ya, kakang,” jawab salah satu dari mereka, “Namun sepertinya mereka berkuda dengan kecepatan yang wajar, bahkan cenderung pelan. Semoga saja itu sebagai pertanda bahwa mereka adalah golongan orang-orang yang tidak senang membuat keonaran.” Kawan-kawannya yang lain tampak mengangguk-anggukkan kepala. Mereka sependapat dengan kata-kata kawannya itu. Jika mereka adalah segerombolan penyamun atau perampok yang akan membuat kerusuhan, tentu mereka telah memacu kuda-kuda itu dengan kasar dan liar sambil berteriak-teriak untuk menakut-nakuti penghuni padukuhan yang akan mereka rampok. Namun bagaimana pun juga, para peronda yang mempunyai tanggung jawab untuk menjaga keamanan di padukuhan itu, tetap saja tidak berani meninggalkan kewaspadaan. “Pergilah ke gardu padukuhan induk,” perintah peronda yang di panggil kakang itu kemudian kepada peronda yang berkulit agak gelap, “Mereka tentu juga telah mendengar suara itu. Beri tahu bahwa kita di sini akan mencoba menahan mereka dan menanyakan apa keperluan mereka? Jika memungkinkan perkuat penjagaan gerbang padukuhan induk, tetapi jangan memukul tanda bahaya. Kita belum tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Sebaiknya kita jangan membuat para penghuni Kademangan Sangkal Putung menjadi gelisah.” “Baik, Kakang,” jawab peronda berkulit gelap itu sambil menyangkutkan pedangnya di lambung. Setelah membenahi pakaiannya terlebih dahulu, dengan tergesa-gesa dia segera melangkah menyusuri lorong-lorong padukuhan menuju ke padukuhan induk. Namun, sebenarnyalah beberapa penghuni padukuhan kecil itu telah terbangun oleh suara gemeretak kaki-kaki kuda yang semakin lama semakin keras dan menghentak-hentak jantung. Beberapa kanak-kanak mulai ketakutan dan bersembunyi dalam dekapan biyung-biyung mereka. Sementara bayi-bayi yang baru berumur beberapa bulan justru tetap tidur lelap dalam buaian dinginnya malam. Naluri mereka yang masih sangat peka justru telah mengisyaratkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang perlu dikawatirkan sehubungan dengan suara derap kaki-kaki kuda itu. “Kakang akan kemana?” seorang ibu muda terkejut mendapati suaminya telah berdiri di dekat amben bambu tempat dia dan bayinya yang baru berumur sebulan tidur. “Aku akan ke gardu sebentar,” jawab suaminya sambil menyelipkan sebilah golok di ikat pinggangnya, “Engkau mendengar suara gemuruh kaki-kaki kuda itu?” “Ya, Kakang,” jawab istrinya dengan wajah sedikit pucat dan bibir gemetar, “Jangan pergi, Kakang. Bukankah sekarang ini bukan giliran kakang untuk meronda?” Sejenak laki-laki muda itu menatap bayinya yang sedang tidur dengan lelapnya di atas amben bambu berselimut kain panjang yang usang. Sambil menarik nafas dalam-dalam, akhirnya laki-laki muda itu pun berkata lirih, “Malam ini memang bukan giliranku jaga. Namun tidak ada salahnya jika aku menengok sebentar gardu penjagaan di regol padukuhan. Mungkin tenagaku diperlukan di sana.” “Tapi Kakang,” istrinya mulai merengek sambil bangkit dan memeluk erat suaminya, “Aku takut.” Laki-laki muda itu untuk beberapa saat hanya berdiri termangu-mangu. tidak tahu harus berbuat apa. Hatinya menjadi sedikit bimbang. Sebagai salah seorang pengawal padukuhan, hatinya merasa terpanggil untuk ikut menjaga keamanan padukuhannya, walaupun sekarang ini dia sedang lepas tugas. “Duduklah,” berkata laki-laki muda itu kemudian sambil mendorong perlahan pundak istrinya agar duduk, “Aku tidak akan pergi untuk berperang. Aku hanya menengok sebentar keadaan di luar sana. Siapa tahu orang-orang berkuda itu adalah kawan-kawan kita para pengawal Sangkal Putung yang baru kembali dari Panaraga.” Mendengar kata-kata suaminya, perempuan muda itu pun sejenak tertegun. Dilepaskan pelukannya pada suaminya. Sambil membetulkan letak duduknya, dia pun kemudian berkata, “Mungkin kakang, mungkin mereka adalah para pengawal yang pulang dari Panaraga. Kedengarannya mereka tidak berpacu dengan tergesa-gesa. Bahkan terdengar mereka seperti sedang bertamasya” Suaminya tersenyum sambil menarik nafas dalam-dalam. Entah mengapa tiba-tiba saja dalam benaknya tadi telah terlintas kawan-kawannya yang sedang melawat ke Panaraga bergabung dengan pasukan Mataram. “Sudahlah,” katanya kemudian kepada istrinya, “Tidurlah kembali. Aku akan ke gardu sebentar. Selaraklah pintu dari dalam. Mungkin aku nanti pulang menjelang ayam berkokok terakhir kalinya.” Istrinya tidak menjawab hanya menganggukkan kepalanya. Diikuti langkah suaminya menuju ke pintu depan. Setelah bayangan suaminya hilang di balik pintu regol halaman, barulah dia menyelarak pintu rumahnya dan kembali berbaring di sisi anaknya yang tetap tidur dengan pulasnya. Dalam pada itu, Ki Tumenggung Purbarana yang memimpin rombongan berkuda itu telah melihat sesuatu yang mencurigakan beberapa ratus tombak di depan. “Mungkin hanya seorang petani yang sedang menengok sawahnya,” berkata Ki Tumenggung dalam hati. Beberapa orang dalam rombongan itu pun telah melihat seseorang yang tampak sedang menyusuri tanggul di sebelah kiri bulak. Dalam keremangan malam, tampak sebuah caping bambu yang butut bertengger di atas kepalanya dan sebuah cangkul di pundaknya. “Hanya seorang petani,” demikian hampir setiap orang yang berada dalam rombongan itu mengambil kesimpulan. Untuk beberapa saat orang tua itu kembali termenung. Sejenak ingatannya kembali ke beberapa bulan yang lalu ketika dia bertemu dengan Senapati Agul-Agulnya Mataram, Ki Rangga Agung Sedayu, di lereng Gunung Bayangkaki sebelah barat. “Sebelum pecah perang antara Mataram dan Panaraga, aku sudah berjanji kepada Ki Rangga Agung Sedayu untuk tidak terlibat dalam pertikaian itu,” berkata orang tua itu kemudian, “Demikian juga Ki Rangga juga telah berjanji tidak akan melibatkan diri. Dan janji kami berdua itu telah kami pegang sepenuh hati sampai sekarang ini.” “Tapi sekarang perang Panaraga telah berakhir, Guru,” potong Teja Wulung dengan serta merta, “Tidak ada kewajiban lagi bagi Guru untuk memegang janji itu.” “Engkau memang benar bahwa perang Panaraga telah selesai. Tetapi apa yang akan engkau lakukan ini masih ada hubungannya,” orang tua itu berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Tidak Teja Wulung. Aku tetap pada pendirianku. Aku hadir di sini atas permintaan ibundamu untuk mengajakmu kembali ke Kademangan Cepaga.” Begitu nama ibundanya disebut, terasa sesuatu telah menghujam jantungnya. Namun dengan cepat perasaan itu segera dibuangnya jauh-jauh. “Guru, aku tidak akan pulang ke Kademangan Cepaga kecuali hanya untuk memboyong ibunda ke istana Mataram, selain itu tidak. Bagiku hanya ada dua pilihan, mukti atau mati.” “Bagaimana kalau engkau tidak mukti tetapi juga tidak mati? Seperti keadaanmu sekarang ini misalnya?” “Aku akan terus berjuang sampai cita-citaku berhasil, atau sekalian aku tidak akan pernah melihat lagi terbitnya matahari di ufuk timur.” Orang tua itu hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya menghadapi kekerasan hati Teja Wulung. “Nah, jika Guru tidak ingin terlibat, silahkan duduk saja dan menonton apa yang akan terjadi nanti,” berkata Teja Wulung kemudian, “Kami akan mencegat rombongan yang membawa Pangeran Jayaraga itu di Lemah Cengkar, di padang rumput yang luas dan terdapat pohon beringin raksasa yang dipercaya banyak orang ada siluman harimau putihnya.” Orang tua itu tidak menjawab. Hanya sepasang matanya yang hitam kelam itu tampak sedikit berkaca-kaca. Bagaimana pun juga Teja Wulung itu sudah dianggap seperti cucunya sendiri. Rara Ambarasari atau ketika masih gadis lebih dikenal dengan nama Endang Mintarsih, satu-satunya endang yang ada di Padepokan Selagilang, telah diakui sebagai anaknya sendiri, jauh sebelum padepokan mereka kedatangan seorang pemuda yang mengaku bernama Jaka Suta dan Pamannya. Sejenak kemudian Teja Wulung segera memanggil para pemimpin kelompok untuk mendekat. “Apakah kalian menempatkan telik sandi di tikungan yang menuju ke arah Kaliasat?” bertanya Teja Wulung kemudian. “Hamba, Pangeran,” jawab orang yang rambutnya sudah ubanan, “Kami menempatkan telik sandi di tikungan arah Kaliasat, agar kita dapat mengetahui arah yang mereka tuju setelah lepas dari Kademangan Sangkal Putung.” “Kemungkinan mereka melalui Kaliasat memang kecil,” berkata pemimpin kelompok yang lain menimpali, “Mereka tentu memilih jalur yang lurus melalui Lemah Cengkar yang langsung menuju Jati Anom, dari pada belok kiri lewat Kaliasat. Jika mereka memilih Kaliasat, mereka harus melalui bulak dowo sebelum mencapai Dukuh Pakuwon. Kemudian mereka masih harus menyusur lewat pinggir Hutan Macanan ini. Aku yakin mereka tentu mempunyai perhitungan bahwa kita akan mencegat mereka di hutan ini sehingga jalur ini harus dihindari.” “Kalian benar,” Teja Wulung atau yang lebih dikenal di kalangan pengikutnya itu sebagai Pangeran Ranapati memotong, “Aku yakin mereka memilih jalur Lemah Cengkar. Kita akan bersembunyi di antara lebatnya ilalang yang tumbuh setinggi pinggang orang dewasa itu. Mereka pasti tidak menyangka bahwa kita akan mencegat justru di tempat terbuka, padang rumput Lemah Cengkar.” “Hamba Pangeran,” hampir serempak para pemimpin kelompok itu menjawab. “Nah sekarang atur lah orang-orangmu. Bawa mereka ke padang rumput Lemah Cengkar. Kita masih punya cukup waktu untuk mencapai Lemah Cengkar sebelum tengah malam. Usahakan kalian bersembunyi agak jauh dari pohon beringin raksasa itu?” Para pemimpin kelompok itu saling pandang. Mereka tidak mengerti maksud Pangeran Ranapati. Namun agaknya Pangeran Ranapati mengerti jalan pikiran mereka. Maka katanya kemudian, “Bukan berarti aku percaya adanya macan putih siluman penghuni pohon beringin raksasa itu. Namun menurut perhitunganku, pasukan berkuda itu tidak akan lewat tepat di bawah pohon, mereka akan memilih tempat yang lebih lapang untuk pasukan mereka.” Para pemimpin kelompok itu sekarang mengangguk-anggukkan kepala, pertanda bahwa mereka telah mengerti perhitungan pangeran Ranapati. Sekembalinya para pemimpin kelompok itu ke tempat anak buah mereka, pangeran Ranapati pun segera berkemas. Ketika dia kemudian berpaling ke arah Gurunya yang duduk di bawah pohon, tampak orang tua itu telah berdiri dan berjalan ke arahnya. “Teja Wulung,” berkata orang tua itu kemudian sesampainya dia di hadapan muridnya, “Apakah ada gunanya engkau mencoba merebut Pangeran Jayaraga dari tangan pasukan Mataram yang mengawalnya? Jayaraga sudah menyerah dan Kadipaten Panaraga telah jatuh. Untuk apa engkau melakukan semua ini?” “Guru,” jawab Pangeran Ranapati sambil menegakkan tubuhnya, “Aku memerlukan Adimas Jayaraga untuk memperkuat kedudukanku. Orang-orang masih meragukan kedudukanku sebagai seorang Pangeran. Aku memerlukan Adimas Jayaraga untuk merebut simpati para kawula Mataram. Adimas Jayaraga akan aku bujuk untuk kembali memberontak kepada Mataram. Dengan landasan beberapa kadipaten di Bang Wetan yang belum tunduk kepada Mataram, kami akan menghancurkan Mataram.” Orang tua itu mengerutkan keningnya sejenak. Tanyanya kemudian dengan sedikit ragu-ragu, “Kadipaten Surabaya maksudmu?” Pangeran Ranapati mengangguk. Jawabnya kemudian, “Selain Surabaya, aku juga telah membuat hubungan dengan Pasuruan dan Gresik.” Tiba-tiba wajah orang itu menegang sejenak. Namun dengan cepat kesan itu segera terhapus dari wajahnya. Tanyanya kemudian sambil lalu, seolah olah bukan sebuah pertanyaan yang penting, “Apakah engkau juga telah membuat hubungan dengan orang-orang asing yang berada di Gresik?” Sejenak Pangeran Ranapati terdiam. Namun jawabnya kemudian, “Aku belum mempunyai kepentingan dengan mereka, Guru. Keberadaan orang-orang asing itu di tanah kita ini hanya sekedar berdagang, sehingga aku tidak dapat berharap lebih dari mereka.” Orang tua itu pun kemudian tidak berkata-kata lagi. Diikutinya saja langkah muridnya berjalan bersama para pengikutnya keluar dari hutan Macanan menuju ke Lemah Cengkar. Dalam pada itu, di kediaman Ki Gede Menoreh, di bilik belakang dekat dapur, tampak Anjani sedang duduk di sebuah dingklik kayu dekat sebuah amben besar. Beberapa perempuan tampak mengerumuninya, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Rara Wulan serta tak ketinggalan Damarpati. “Mengapa engkau pergi begitu saja Anjani?” bertanya Sekar Mirah yang duduk di bibir pembaringan sambil menggenggam kedua tangan Anjani, “Kami semua di sini sangat mengkawatirkan kesehatanmu. Bukan kah engkau masih belum sembuh benar dari luka dalammu?” Sejenak Anjani menarik nafas dalam-dalam. Berbagai penyesalan menyelusup ke dalam dadanya. Betapa perhatian yang sangat ditunjukkan oleh Sekar Mirah, istri dari laki-laki yang selama ini secara diam-diam selalu dirindukan dan didambakannya. “Maafkan aku mbokayu,” hanya kata-kata itu yang terdengar lirih dan tersendat dari bibir mungil Anjani. Ditundukkan kepalanya dalam-dalam tanpa berani menentang pandang mata Sekar Mirah. Namun justru karena itulah tanpa disadarinya, setetes demi setetes air mata telah jatuh di pangkuannya. “Sudahlah Anjani,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil menggenggam kedua tangan Anjani lebih erat lagi, “Kami semua bisa memaklumi suasana hatimu saat itu. Mungkin engkau merasa malu menjadi beban keluarga Menoreh,” Sekar Mirah berhenti sejenak. Sambil tersenyum dan mengusap air mata di pipi Anjani dengan tangan kanannya, dia melanjutkan, “Kami sama sekali tidak keberatan engkau tinggal di sini. Engkau telah kami anggap sebagai keluarga sendiri.” “Keluarga sendiri?” desah Anjani dalam hati sambil mencoba dengan perlahan melepaskan tangannya dari genggaman Sekar Mirah, “Haruskah aku menerima kenyataan ini tanpa berusaha mendapatkan yang lebih baik?” kembali hati kecilnya menjerit. Dengan susah payah dicobanya untuk mengusap air mata yang semakin deras mengalir di kedua pipinya yang ranum kemerah-merahan. Berbagai tanggapan bergejolak di dalam hatinya. Haruskah perjuangannya selama ini dalam meraih kebahagiaan dan masa depan yang lebih cerah harus berakhir dalam kehampaan? Jika dia hanya hidup di lingkungan keluarga Ki Rangga tanpa kejelasan akan nasibnya, apakah hatinya yang sangat rapuh itu akan dapat bertahan? Alangkah dahsyatnya segala benturan dan hentakan yang akan mendera hatinya nanti. Dia akan melihat orang yang sangat dicintainya itu selalu berada di dekatnya, namun sesungguhnya sangat jauh dalam jangkauan dan rengkuhan cintanya. “Sudahlah,” berkata Pandan Wangi yang juga duduk di bibir pembaringan di sebelah kiri Sekar Mirah membuyarkan lamunan Anjani, “Malam sudah mendekati sepi uwong. Sebaiknya kita segera beristirahat.” Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam sambil berpaling ke arah Pandan Wangi. Katanya kemudian, “Mbokayu benar. Sebaiknya kita segera beristirahat. Besuk masih banyak yang harus kita kerjakan.” Tanpa sadar Anjani mengangkat wajahnya. Namun begitu pandangan matanya tertumbuk pada seraut wajah yang cantik tapi tampak selalu murung, dengan segera ditundukkan kembali wajahnya. “Anjani,” tiba-tiba terdengar suara Pandan Wangi yang bagaikan guruh meledak di dekat teinganya, “Engkau dapat beristirahat di bilikku. Biarlah Damarpati mengawanimu jika engkau tidak berkeberatan sekedar sebagai teman berbincang.” “Mbokayu sendiri akan tidur di mana?” kata-kata itu tiba-tiba saja terlontar begitu saja dari bibir Sekar Mirah. “Aku akan tidur di bilik ini menemanimu, Sekar Mirah. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan,” jawab Pandan Wangi sambil menatap tajam ke arah Anjani. Namun Anjani ternyata sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya. Sejenak suasana menjadi sepi. Masing-masing sedang terhanyut dalam buaian lamunan yang mengasyikkan. Sementara Anjani justru menjadi sangat gelisah mendengar ucapan Pandan Wangi. “Apakah Nyi Pandan Wangi akan mengungkapkan hubunganku dengan kakang Agung Sedayu,” desah Anjani dalam hati, “Sebaiknya, aku sendiri saja yang berterus terang kepada mbokayu Sekar Mirah agar jangan terjadi salah paham. Jika Nyi Pandan Wangi yang bercerita, mungkin mbokayu Sekar Mirah akan mempunyai tanggapan yang berbeda. Mungkin mbokayu akan menyangka ternyata selama ini Kakang Agung Sedayu tidak jujur terhadap dirinya. Bahkan mungkin mbokayu Sekar Mirah menyangka kakang Agung Sedayu telah menanggapi sikapku dan benar-benar menyangka telah terjalin hubungan diantara kami berdua.” Berpikir sampai disitu, dengan memberanikan diri akhirnya Anjani membuka suara, “Maafkan aku Nyi Pandan Wangi,” Anjani berhenti sebentar untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja menjadi sangat kering, “Bukan maksudku menolak kemurahan hati Nyi Pandan Wangi, namun sesungguhnya aku ingin menemani mbokayu Sekar Mirah di bilik ini. Banyak yang ingin aku ceritakan tentang kisah hidupku kepada mbokayu Sekar Mirah. Namun semua itu terserah mbokayu Sekar Mirah, apakah mbokayu bersedia menerima aku sekedar sebagai kawan berbincang yang mungkin akan sangat membosankan.” “Tidak, Anjani. Aku tidak berkeberatan,” justru Sekar Mirahlah yang dengan serta merta menjawab, “Kawani aku. Engkau dapat bercerita tentang kisah hidupmu yang tentu akan sangat menarik, dan aku siap untuk menjadi pendengar yang baik.” Orang-orang yang berada di dalam bilik itu tampak mengangguk-angguk. Hanya Pandan Wangi yang tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Namun setelah menarik nafas dalam-dalam, akhirnya dia pun berkata, “Terserah engkau Anjani. Kalau memang engkau lebih senang tidur bersama Sekar Mirah di bilik ini, tentu saja aku tidak bisa memaksa.” Terasa himpitan yang selama ini menekan dada Anjani perlahan mengendor. Dengan menyungging sebuah senyum kecil di sudut bibirnya, Anjani pun kemudian mengangkat wajahnya sambil berkata, “Sekali lagi aku mohon maaf, Nyi. Rasanya begitu deksura jika aku menggunakan bilik Nyi Pandan Wangi. Rasa-rasanya aku lebih nyaman berada di bilik ini sambil membantu mbokayu Sekar Mirah jika sewaktu-waktu bayinya terbangun dan rewel.” “Ah,” desah Sekar Mirah dengan serta merta, “Kalau bayiku rewel karena haus dan ingin minum? Apakah engkau juga mau membantuku, Anjani?” “Ah,” hampir bersamaan perempuan-perempuan yang berada di dalam bilik itu tertawa. Sedangkan Anjani hanya dapat menundukkan kepalanya dengan wajah yang sedikit bersemu merah. “Baiklah, aku mohon diri,” berkata Pandan Wangi kemudian sambil bangkit berdiri. Serentak mereka yang berada di dalam bilik itu pun ikut berdiri. “Selamat beristirahat, mbokayu,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil mengikuti langkah Pandan Wangi menuju pintu bilik diikuti oleh Anjani. Sedangkan Rara Wulan dan Damarpati yang selama ini hanya berdiam diri, dengan tergesa-gesa segera ikut mengantar putri satu-satunya penguasa Tanah Perdikan Menoreh itu ke pintu bilik. Sepeninggal Pandan Wangi, Rara Wulan segera minta diri untuk kembali ke biliknya. Sedangkan Damarpati yang biasanya menemani Sekar Mirah, telah memilih untuk tidur di bilik kakeknya, Kiai Sabda Dadi. Dalam pada itu di gandhok kiri, di bilik yang paling ujung, Ki Jayaraga tampak sedang duduk di atas sebuah lincak bambu yang terletak di teritisan. Di sebelahnya duduk dengan kepala tunduk cantrik Gatra Bumi. Sedangkan Glagah Putih tampak berdiri bersandaran pada salah satu tiang yang banyak berjajar-jajar di sepanjang teritisan. “Kemana saja engkau selama ini Sukra,” Ki Jayaraga membuka percakapan dengan nada yang dalam, “Semua orang mencemaskanmu. Engkau pergi begitu saja tanpa pamit kepada penghuni rumah Ki Rangga. Apakah memang engkau sudah tidak kerasan lagi tinggal bersama kami?” “Tidak, Ki. Bukan maksudku untuk membuat keluarga Ki Agung Sedayu resah,” dengan suara pelan cantrik Gatara Bumi atau yang lebih dikenal dengan nama Sukra itu menjawab, “Aku memang bersalah telah pergi tanpa pamit.” Glagah Putih mengerutkan keningnya mendengar jawaban Sukra. Tanpa disadarinya degup jantungnya berpacu menjadi sedikit lebih cepat. Rasa-rasanya yang duduk di sebelah Ki Jayaraga itu bukan Sukra yang dulu lagi. Sukra yang berada di hadapannya kini tampak sangat dewasa dan matang. Kalau dugaannya benar bahwa Sukra telah menjadi salah satu cantrik dari Kanjeng Sunan, tentu telah banyak mendapat bimbingan baik dalam olah kanuragan maupun olah batin. “Mungkin dia sekarang ini sudah menguasai sebuah ilmu yang ngedab-edabi,” berkata Glagah Putih dalam hati, “Menilik sikapnya yang tenang dan sedikit acuh dengan keadaan sekelilingnya, tentu dia telah mempunyai bekal yang lebih dari cukup sehingga tidak ada yang dapat menggetarkan jantungnya.” Berpikir sampai disini, tiba-tiba muncul sebuah keinginan untuk menjajagi sampai di mana tingkat kemampuan anak yang dulunya hampir setiap malam turun ke sungai untuk memasang rumpon itu. “Sukra,” berkata Glagah Putih kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Apakah engkau masih mengingat latihan-latihan olah kanuragan yang sering kita lakukan bersama dahulu? Jika ada waktu dan engkau tidak berkeberatan, ada baiknya kita berlatih bersama kembali sekedar untuk melemaskan otot dan mengingat pelajaran yang pernah diberikan oleh Ki Jayaraga.” Namun jawaban Sukra sungguh diluar dugaan. Dengan menggeleng lemah sambil tersenyum, dia menjawab, “Maaf kakang Glagah Putih. Aku sudah melupakan segala macam ilmu olah kanuragan dan guna kasantikan yang dapat membuat orang menjadi pilih tanding dan sakti mandraguna. Kanjeng Sunan telah mengajarkan kepadaku akan pentingnya memahami kehidupan ini. Memahami kewajiban kita sebagai hamba Yang Maha Agung yang telah menciptakan kita untuk menjadi penguasa di atas bumi ini. Yang Maha Agung telah menurunkan sebuah ilmu tentang kasampurnaning ngaurip melalui utusanNya. Ilmu yang lebih berharga dari segala macam ilmu kanuragan dan guna kasantikan sebagai bekal hidup kita kelak di alam kelanggengan.” Bagaikan disiram bayu sewindu, guru dan murid itu untuk beberapa saat telah membeku di tempat masing-masing. Mereka berdua sama sekali tidak menduga bahwa Sukra telah mempunyai pengetahuan dan keyakinan yang sedemikian kuatnya dalam menentukan jalan hidupnya, menilik umurnya yang masih tergolong sangat muda. Sejenak suasana menjadi sunyi. Masing-masing tenggelam dalam lamunan yang tak berujung pangkal. Sementara para pengawal di gardu perondan yang berada di ujung kelokan jalan dekat kediaman Ki Gede Menoreh telah memukul kentongan dengan nada dara muluk. “Tengah malam,” desis Ki Jayaraga tanpa sadar. Sementara Glagah Putih dan Sukra tidak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya kepala mereka yang terlihat terangguk-angguk. “Marilah,” berkata Ki Jayaraga kemudian, “Sudah waktunya kita beristirahat. Besuk aku dan Glagah Putih akan menempuh perjalanan yang cukup panjang,” Ki Jayaraga berhenti sejenak. Kemudian sambil berpaling ke arah Sukra yang duduk di sebelahnya, dia bertanya, “Sukra, apakah engkau akan tinggal di Menoreh lagi, ataukah akan mengikuti Kanjeng Sunan kembali ke gunung Muria?” “Kedua-duanya tidak, Ki” sahut Sukra dengan serta merta sambil menggelengkan kepalanya, “Beberapa hari yang lalu aku diperintahkan oleh Kanjeng Sunan untuk menemani Ki Ajar Mintaraga di hutan sebelah timur pebukitan Menoreh. Namun karena sesuatu hal, kami berpisah. Ki Ajar kembali ke pertapaan Mintaraga dan aku disuruh mengikuti Kanjeng Sunan Ke Menoreh,” Sukra berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Aku sudah memohon ijin kepada Kanjeng Sunan untuk tinggal barang sehari dua hari di sini. Setelah itu aku akan kembali ke pertapaan Mintaraga di pebukitan Menoreh.” Hampir bersamaan Ki Jayaraga dan Glagah Putih mengerutkan kening. Nama Ki Ajar Mintaraga itu terasa masih asing di telinga mereka berdua. “Siapakah Ki Ajar Mintaraga itu?” bertanya Glagah Putih kemudian. Untuk sejenak Sukra tidak segera menjawab pertanyaan Glagah Putih. Setelah menarik nafas panjang terlebih dahulu, barulah Sukra menjawab, “Ki Ajar Mintaraga adalah salah seorang santri dari Kanjeng Sunan. Menurut cerita yang pernah aku dengar dari para santri di gunung Muria, Ki Ajar Mintaraga menjadi santri Kanjeng Sunan di usia yang sudah sangat sepuh. Walaupun demikian, hubungan keduanya bagaikan hubungan antara sahabat, bukan antara guru dan murid.” Ki Jayaraga dan Glagah Putih mengangguk-anggukkan kepala mereka walaupun keterangan Sukra itu masih belum menjelaskan jati diri Ki Ajar Mintaraga yang sebenarnya. Namun sedikit banyak mereka berdua telah mendapat gambaran tentang diri orang tua itu. “Apakah engkau mempunyai kepentingan yang mendesak di Menoreh ini, Sukra?” bertanya Ki Jayaraga kemudian. “Ya, Ki,” jawab Sukra, “Aku ingin menemui Ki Agung Sedayu untuk suatu keperluan.” “Apakah keperluanmu itu?” hampir saja pertanyaan itu terloncat dari mulut Glagah Putih. Namun Glagah Putih segera menyadari bahwa tidak sepantasnya lah bagi dirinya untuk menanyakan hal itu. Sukra yang sekarang berada di hadapannya itu, bukanlah Sukra beberapa waktu yang lalu. “Sudahlah, malam sudah cukup larut. Sebaiknya kita segera beristirahat,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil bangkit dari tempat duduknya. “Engkau akan tidur di mana Sukra?” bertanya Glagah Putih begitu melihat Sukra ikut beranjak dari tempat duduknya. “Jika diijinkan, aku akan bermalam di rumah Ki Agung Sedayu.” Sejenak Ki Jayaraga dan Glagah Putih saling berpandangan. Ki Jayaraga lah yang kemudian menyahut, “Rumah Ki Rangga Agung Sedayu sudah lama dikosongkan. Sekali-kali saja aku menengok keadaannya. Namun jika engkau mau bermalam di sana, silahkan saja. Seperti biasa engkau dapat masuk melalui pintu dapur. Pengait selarak pintu dapur aku selipkan di atas teritisan depan pintu dapur.” “Terima kasih, Ki,” jawab Sukra kemudian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Demikianlah, sejenak kemudian mereka segera berpisah. Ki Jayaraga segera masuk ke dalam biliknya, sedangkan Glagah Putih menuju ke bilik istrinya. Sementara Sukra telah turun ke halaman rumah Ki Gede yang luas untuk kemudian keluar melalui regol depan dan berjalan menyusuri lorong-lorong yang gelap dan sunyi menuju ke rumah Ki Rangga Agung Sedayu. Dalam pada itu, di bilik Sekar Mirah, Anjani terlihat sangat gelisah. Dicobanya untuk menghilangkan kegelisahan itu dengan membetulkan letak selimut Bagus Sadewa yang sedikit tersingkap. Sambil membungkukkan badan, diciumnya pipi bayi Sekar Mirah yang terlihat sangat menggemaskan itu. “Sudahlah Anjani,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil tersenyum, “Malam sudah cukup larut, bagaimana jika ceritamu itu ditunda sampai besuk saja?” Anjani menarik nafas panjang sambil berpaling ke arah Sekar Mirah yang duduk di ujung pembaringan. Ada sedikit keraguan yang terselip di sudut hatinya. Namun kesempatan untuk berdua saja dengan istri Ki Rangga Agung Sedayu itu belum tentu datang untuk kedua kalinya. Maka dengan memberanikan diri, dia pun akhirnya menjawab, “Aku belum mengantuk, mbokayu. Namun jika mbokayu yang sudah mengantuk, aku tidak akan memaksa mbokayu untuk mendengarkan ceritaku yang tentu akan sangat membosankan.” “Ah! Ada-ada saja engkau ini, Anjani,” sahut Sekar Mirah sambil menarik lengan Anjani yang masih berdiri di dekat pembaringan dan membawanya duduk di sebelahnya, “Bercerita lah! Aku akan menjadi pendengar yang baik.” Untuk beberapa saat lidah Anjani justru menjadi kelu. Bibir yang mungil kemerahan itu terkatup rapat. Sementara degup jantungnya semakin lama menjadi semakin cepat seiring dengan nafasnya yang ikut memburu. Sekar Mirah yang melihat perubahan itu mengerutkan keningnya. Dengan perlahan diguncangkannya pundak Anjani sambil tertawa kecil, “He! Apa yang sedang terjadi padamu, Anjani? Sepertinya engkau sedang melihat hantu.” Anjani mencoba tersenyum menanggapi gurauan Sekar Mirah, betapapun pahitnya. Dicobanya untuk menarik nafas dalam-dalam, namun tetap saja jantungnya berpacu semakin cepat. bersambung ke bagian 2 Laman 1 2 3 4
BrowseRecommendations; Choice Awards; Genres; Giveaways; New Releases; Genres API DI BUKIT MENOREH Judul Buku Api di Bukit Menoreh Karya SH Mintardja Gambar Kulit Herry Wibowo Illustrasi Suparto Jilid 396 Jilid Format A5 Halaman 80 halaman Penerbit Kedaulatan Rakyat Yogyakarta Jilid 1 dicetak tahun 1968, jilid terakhir 396 dicetak tahun 396. SINOPSIS Sudah lupa detil cerita yang sangat panjang ini menyebabkan agak sulit membuat sinopsis tentang Api Di Bukit Menoreh ini Korek sana-sini menemukan sinopsis yang cukup lumayan, saya sunting sebagian untuk blogi ini. Agung Sedayu … Diceritakan sebagai adik dari Untara, tokoh utama Pasukan Pajang yang berjuang melawan sisa pengikut Arya Penangsang yang bergerilya. Ayahnya adalah salah seorang Tokoh Olah Kanuragan yang sepuh, masih dikenal baik Gurunya Kiai Gringsing dan dari aliran baik-baik. Ilmu ayahnya diwarisi tidak matang oleh Pamannya Widura Adik ibunya dan oleh Untara, dan Ilmu lengkap ayahnya justru ditemukannya secara tidak sengaja ketika untuk pertama kalinya Pati Geni memperdalam ilmunya di gua dekat kampungnya, Jati Anom. Agung Sedayu … digambarkan sebagai seorang pemuda yang sangat penakut, bukannya pengecut. Karena bahkan melewati sebuah pohon raksasa di malam haripun dia tidak berani. Karena terlalu dimanjakan ibunya, Sedayu berubah menjadi penakut, apalagi dia selalu berlindung di bawah ketiak kakaknya yang sangat kuat dan jantan serta berilmu. Kepenakutan Sedayu diceritakan hampir selama 30 jilid pertama. Boleh dikata, pembaca jadi sangat mengenal bahkan dari dekat tokoh bernama Agung Sedayu ini, karena moment kepenakutannya diceritakan detail lengkap dengan persaingannya dengan Sidanti, baik dalam Olah Kanuragan terminologi lokal yang cocok pengganti ilmu silat maupun kelak dalam cinta. Meskipun penakut, Agung Sedayu memiliki kemampuan lain yang diatas rata-rata Membidik tepat, baik melalui lemparan maupun memanah yang tidak pernah gagal, serta mampu mengukirkan apa yang dia baca dalam hatinya hingga tidak terlupakannya. Saking detailnya, dibutuhkan puluhan jilid yang mengalir bersama rentetan sejarah dari Demak-Pajang dan berdirinya Mataram. Proses Agung Sedayu menemukan dirinya, mengatasi kepenakutannya diceritakan sangat detail dan lama, sehingga terkesan bertele-tele. Demikian juga prosesnya menempa diri, dari mulai diambil sebagai guru oleh Kiai Gringsing, tokoh utama lain cerita ini, sampai memasuki penempaan mendalam, membutuhkan panjang hingga 100 jilid pertama. Bahkan, dibutuhkan lebih dari 200 jilid baru Kiai Gringsing mempercayakan Kitab Rahasianya untuk didalami oleh Agung Sedayu dan Swandaru adik seperguruannya. Itupun setelah Agung Sedayu memperdalam diri dengan menyempurnakan ilmu ayahnya dan mendalami Kitab Rahasia gurunya yang kedua Jilid 100-200. Dari hanya mampu memainkan ilmu gerak yang biasa nyaris sepanjang 50 jilid pertama, hingga kemudian mampu memainkan cambuk sebagai senjata utama 51-100, sungguh banyak episode yang dilewati dengan menggunakan ilmu-ilmu itu. dALAM mana, penjahat-penjahat sakti semacam Tambak Wedi menjadi lawan guru mereka. Baru pada jilid 100-200, nampaknya Kiai Gringsing mulai memberi kesempatan Agung Sedayu untuk mulai menggantikan tempatnya, dan puncaknya ketika dalam akhir jilid 200, bentrok dengan sesama tokoh sepuh yang sudah dinyatakan punah melalui benturan ilmu-ilmu ampuh yang dinyatakan lenyap, milik Eyang Windunata yang merupakan garis vertikal keturunan prabu terakhir Majapahit. Eyang tersebut adalah kakek langsung Kiai Gringsing yang bersahaja, bahkan salah satu gurunya yang mewariskan ilmu-ilmu ampuh dan menyeramkan. Agung Sedayu Ilmu Kesaktian – Kanuragan SH Mintardja dengan cerdik menggunakan terminologi “Olah Kanuragan” atau Ilmu Kanuragan sebagai ganti Ilmu SIlat. Bahkan dia tidak menyebutnya Pencak atau Pencak SIlat. Tenaga dalampun dinamainya TENAGA CADANGAN, dan semedi dinamakannya MESU DIRI atau PATI GENI. Dalam proses ini, Agung Sedayu memulai Olah Kanuragan dengan diajak dan dipermainkan gurunya. Dia dilatih untuk menghilangkan rasa penakutnya yang meskipun hilang akhirnya, tetapi kelembutannya dan ketidaktegasannya menghadapi dan menghukum orang jahat tidak pernah lepas hingga akhir cerita di jilid 390-an. Tetapi, kehebatan dan bakatnya melalui kemampuan mengingat dan menanamkan dalam hati, membuatnya meski tidak banyak berlatih, ternyata menyerap semua ilmu yang juga dikuasai Untara kakaknya. Mengapa? karena ilmu ayahnya ternyata di catatnya di daun lontar, dan ketika Kiai Gringsing dan Widura melatihnya, tidak lama waktu yang dibutuhkannya untuk mematangkan dirinya. Selama 70 jilid, Agung Sedayu dan Swandaru mengikuti gurunya Kiai Gringsing untuk memperdalam ilmu dengan mengembara hingga ke Menoreh dan bahkan singgah ke Mataram yang mulai dibuka di akhir jilih 100-an. Ilmu Kanuragan Agung Sedayu masih sederhana dan belum mendalam, perbedaannya dengan Swandaru juga maih belum seberapa. Tetapi, ketika konflik mulai memuncak, pertarungan Mataram dan Pajang mulai terjadi, Kiai Gringsing menuntun Agung Sedayu dan Swandaru untuk meningkatkan Ilmu Kanuragan mereka. Agung Sedayu memilih jalur dalam sementara Swandaru memilih jalur keras atau kulit dengan mengandalkan fisik. Agung Sedayu melakukan Mesu Diri untuk mematangkan ilmunya dan memperdalam kemampuan membidiknya serta menemukan Ilmu yang bisa memusnahkan orang dan benda melalui sinar matanya. Perbedaan kemampuan Swandaru dan AGung Sedayu mulai melebar. Uniknya, Swandaru tidak menyadarinya dan selalu merasa sudah melampaui kemampuan kanuragan kakak seperguruannya, Agung Sedayu. Episode paling menarik dari kedua tokoh seperguruan ini dikisahkan dalam episode kedua, JALAN SIMPANG. Swandaru selalu menilai diri terlalu tinggi karena Agung Sedayu selalu terluka melawan tokoh-tokoh sakti yang mulai rajin bermunculan di atas jilid 100. Padahal, melawan tokoh-tokoh ini justru semakin mematangkan Agung Sedayu. Ilmunya meningkat pesat, dan memperoleh pengasihan dari Guru keduanya yang meminjamkan kitabnya dan juga petunjuk Pangeran Benawa dan Raden Sutawidjaya dalam meningkatkan Ilmu. Dari Guru keduanya, Agung Sedayu mampu mengolah dan memperoleh Ilmu Kebal yang luar biasa, mampu mengeluarkan panas membakar dalam puncak Ilmu Kebalnya itu. Mampu bergerak cepat dan melayang-layang secara tidak masuk akal ini mungkin ginkang dan mampu menghadapi ilmu sihir atau santet, bahkan belakangan mampu menemukan ilmu Kakang Pembarep Adi Wuragil dengan memecah diri menjadi 3 seperti Kiai Juru Mentani. Selebihnya, diapun melatih ilmu-ilmu mendengar dari jarak jauh, menyerap bunyi dan mempertajam panggraita atau intuisi dan perasaan. Dari Kiai Gringsing, dia memperoleh ilmu Cambuk yang luar biasa yang mampu menembus Ilmu Kebal dengan lecutan-lecutannya. Bahkan meski tidak diceritakan, sebagai murid terkasih Kiai Gringsing dia juga mewarisi Ilmu Ilmu yang nyaris punah, yakni Ilmu Melepas Awan Pekat, Gelap Ngampar dan Mempengaruhi Indra lawan melalui penciuman, Ilmu yang dimiliki Sesepuh Majapahit. Selain itu, dia juga kebal racun setelah diberi petunjuk oleh Pangeran Benawa, tokoh muda sakti selain Sutawidjaya. Keduanya, Sutawidjaya dan Benawa dianggap tokoh muda tersakti pada masa cerita ini, meskipun perkembangan Agung Sedayu juga dipantau keduanya dengan cermat. Puncak cerita dan menariknya cerita ini, ketika Swandaru yang suka meledak-ledak, emosional dan merasa dari kalangan atas, merasa sudah melampaui kehebatan kakak seperguruannya. Dalam pertarungan yang mengakhiri episode jalan simpang, Agung Sedayu mengajarkan bagaimana kematangan dan kedalaman mengalahkan Swandaru yang mengandalkan Tenaga Fisiknya. Dalam perkelahian yang disadari betul oleh adik Swandaru, Sekar Mirah dan Istri Swandaru ,Pandanwangi, bahwa Swandaru kalah jauh oleh Agung Sedayu karena berkali-kali mereka menyaksikan bagaimana Agung Sedayu berkembang menjadi raksasa Olah Kanuragan, Swandaru telak dikalahkan. Bahkan Sekar Mirah, yang akhirnya menjadi istri Agung Sedayupun, baru menyadari betapa suaminya jauh meninggalkannya dengan swandaru, ketika melihat Suaminya nyaris mati menandingi dan mengalahkan Panglima Sakti dari Pajang dalam sebuah perang tanding yang disaksikan banyak tokoh utama. Untuk membuka mata Swandaru, Agung Sedayu mempergunakan semua Ilmunya, baik Kakang Pembarep Adi Wuragil, Ilmu Kebal, Ilmu Pandang Mata, dan Lecutan Berat yang tidak terdengar telinga biasa tapi telinga batin yang menyakitkan. Semua ilmu kanuragan andalannya dikeluarkan dan membuat Swandaru akhirnya sadar dan terperangah. Episode seudahnya adalah episode pengembaraan Glagah Putih, adik sepupu AGung Sedayu sekaligus muridnya. Sementara Agung Sedayu menempah istrinya dan juga menmpa dirinya dengan kitab gurunya, Kiai Gringsing. Kanuragan Jawa Olah Kanuragan, demikian bahasa Mintardja menggambarkan silat Jawa. Sungguh diambil dari sari dan budaya Jawa sendiri. baik penamaan maupun maknanya. Hal yang menunjukkan betapa Silat Lokal, tidak kalah mutu dibandingkan silat Cina. Measkipun kisah cinta di serial ini kurang menggigit atau malah kering, tetapi kontribusi bagi Ilmu Kanuragan dan rentetan budaya jawa sungguh luar biasa. Layak dibaca dan juga layak dilanjutkan. Karena cerita ini menggantung pada bagian paling akhir. Dikutip dari CATATAN Jilid 1-19 tidak ada naskah djvu-nya sehingga tidak bisa dicek kebenarannya dengan rontal aslinya. Apalagi, jilid 1-11 rupanya beberapa bagian sudah diedit oleh editor terdahulu, sehingga sepertinya bukan karangan ADBM asli Ki SH Mintardja lagi. Mohon dimaklumi. TAUTAN HALAMAN BACA BUKU I. 001 002 003 004 005 006 007 008 009 010 011 012 013 014 015 016 017 018 019 020 021 022 023 024 025 026 027 028 029 030 031 032 033 034 035 036 037 038 039 040 041 042 043 044 045 046 047 048 049 050 051 052 053 054 055 056 057 058 059 060 061 062 063 064 065 066 067 068 069 070 071 072 073 074 075 076 077 078 079 080 081 082 083 084 085 086 087 088 089 090 091 092 093 094 095 096 097 098 098 100 BUKU II. 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 198 100

Sunting Api di Bukit Menoreh adalah sebuah seri buku karangan [ [S Berkas:Contoh.jpg. H. Mintardja]]. Seri buku ini tidak selesai sampai ia meninggal. Dalam seri itu terdapat 396 buku. ==Artikel pribadi== * Sejarah Kerajaan di Jawa dan Api di bukit Menoreh oleh Audy Wuisang. Tulisan ini adalah tulisan rintisan.

Item Preview There Is No Preview Available For This Item This item does not appear to have any files that can be experienced on Please download files in this item to interact with them on your computer. Show all files 57 Views DOWNLOAD OPTIONS Uploaded by Godam on March 18, 2017 SIMILAR ITEMS based on metadata
KepalaRampok - Singa - Loncat Indah - Kayu Manis - Kereta Api - Garu Langit 06 = 20 - 91 - 51 - 41 Dewi Bulan - Kelinci - Renang - Kapas - Boneka - Dewi Sri
♦ 15 Juli 2010 Dalam pada itu, Kiai Gringsing justru teringat kepada Pandan Wangi yang berlandaskan pada ilmu dari aliran Tanah Perdikan Menoreh. Di luar sadarnya, karena ketekunannya meningkatkan ilmu, maka Pandan Wangi telah merambah kepada sejenis ilmu yang nampaknya memperkaya kemampuannya, sebelum ia mengandung. Tetapi sudah tentu pada saat-saat ia menunggu kelahiran bayinya yang menjadi semakin dekat, maka Pandan Wangi harus menghentikan segala kegiatannya dalam olah kanuragan. Ia harus melakukan gerakan-gerakan khusus sesuai dengan keadaannya. Swandaru sendiri telah memandangi gurunya yang termangu-mangu. Tetapi. Swandaru tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh gurunya itu. Karena itu, Swandaru pun telah menunggu. Baru sejenak kemudian gurunya itu berkata, “Baiklah Swandaru. Kedatanganmu menunjukkan perhatianmu yang besar terhadap guru dan saudara seperguruanmu, juga terhadap adikmu yang kebetulan juga berada di Tanah Perdikan ini. Kita wajib bersyukur bahwa semuanya telah lewat, meskipun satu dua korban telah jatuh. Agaknya Ki Jayaraga pun harus memulihkan kekuatan dan ketegaran tubuhnya. Bahkan Sekar Mirah pun telah terlibat dalam pertempuran pula. Namun Tanah Perdikan ini tetap tegak. Apalagi persoalan Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan ini sekaligus sudah teratasi.“ “Syukurlah Guru. Tetapi menurut pendengaranku, Guru akan meninggalkan Tanah Perdikan ini besok bersama pasukan Mataram?“ bertanya Swandaru. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun Kiai Gringsing pun kemudian telah menjawab, “Ya. Besok aku akan kembali ke Jati Anom. Aku akan bersama-sama dengan Ki Patih Mandaraka sampai ke Mataram. Kemudian dari Mataram aku dapat sendiri kembali ke Jati Anom. Bukankah jaraknya tidak terlalu panjang?“ “Sangat berbahaya bagi Guru untuk kembali sendiri ke Jati Anom,“ berkata Swandaru. “Aku tidak sendiri dalam arti tanpa kawan sama sekali. Aku membawa dua orang pengawal,“ berkata Kiai Gringsing. “Tidak ada artinya. Bukankah Guru mengatakan bahwa mungkin masih ada pecahan orang-orang Madiun yang berkeliaran? Apalagi jika mereka mengetahui, bahwa Guru dalam keadaan yang agak lemah. Bukan kerena ilmunya, tetapi karena wadagnya yang sudah tidak mendukung kemampuan ilmu Guru. Lebih-lebih lagi, sebenarnya Guru dalam keadaan sakit,“ berkata Swandaru. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu Agung Sedayupun berkata, “Aku sependapat dengan Adi Swandaru Guru. Meskipun jarak antara Mataram, Sangkal Putung dan Jati Anom tidak terlalu jauh, tetapi sebaiknya Guru tidak menempuh perjalanan sendiri. Dua orang pengawal itu hanya kawan berbincang di perjalanan, karena jika terjadi sesuatu, mereka belum mampu ikut berbicara sama sekali. Kecemasan Guru tentang Adi Swandaru, justru membuat aku menjadi semakin cemas tentang perjalanan Guru kembali ke Jati Anom. Bahkan Ki Jayaraga telah menganjurkan kepadaku untuk mengantar Guru kembali ke Jati Anom bersama Glagah Putih, sebelum Adi Swandaru datang. Dengan kehadiran Adi Swandaru, maka Guru akan dapat diantar oleh Adi Swandaru sampai ke Jati Anom.“ Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak ingin disebut orang tua yang keras kepala. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Aku akan kembali ke Jati Anom bersama Swandaru. Jika kemarin aku berkeberatan diantar oleh Agung Sedayu, karena aku tahu Tanah ini memerlukan pembenahan segera. Bahkan mungkin masih akan dapat timbul persoalan-persoalan yang rumit.“ “Baiklah Guru,“ sahut Swandaru, “tetapi aku mohon, kita tidak perlu bersama-sama dengan orang-orang Mataram. Mereka akan kembali bersama pasukan segelar sepapan. Karena itu, rasa-rasanya kita akan lebih bebas jika kita menempuh perjalanan itu sendiri.“ “Tetapi aku sudah berjanji dengan Ki Patih Mandaraka untuk menyertainya,“ berkata Kiai Gringsing. “Guru dapat mengatakannya, bahwa aku sudah menjemput Guru,“ berkata Swandaru. Ternyata bahwa Kiai Gringsing tidak dapat menolak keinginan murid-muridnya. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Aku akan mencoba menyampaikannya kepada Ki Patih Mandaraka.“ “Kenapa harus mencoba? Bukankah segala sesuatunya terserah kepada Guru?“ sahut Swandaru. “Ya. Memang terserah kepadaku,“ jawab Kiai Gringsing, “tetapi bukankah aku harus mencabut kesediaanku? Aku sudah berjanji untuk berangkat bersama Ki Patih. Dan kita tahu nilai dari sebuah janji, meskipun janji ini bukan janji yang mempunyai akibat menentukan.“ Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan Kiai Gringsing-lah yang kemudian bertanya, “Jika tidak sekarang, kapan kita akan kembali?“ “Terserah kepada Guru. Besok atau lusa,“ jawab Swandaru. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Nanti kita bicarakan kemudian. Sekarang, kita tinggal menunggu Ki Patih bangun. Karena itu, jika kita ingin beristirahat, kau dapat pergi ke rumah kakangmu Agung Sedayu. Biarlah aku di sini menunggu Ki Patih, untuk berbicara tentang rencanaku menunda keberangkatanku kembali ke Jati Anom.“ “Waktunya tinggal sedikit. Sementara kami berjalan, matahari telah mulai memancar. Biarlah kami menunggu di sini,“ berkata Swandaru. “Kau tidak letih? Atau barangkali kau akan beristirahat di sini?“ bertanya Kiai Gringsing. “Betapapun letihnya, di hadapan Guru tentu aku ingin menunjukkan bahwa aku adalah murid yang baik,“ jawab Swandaru. Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tertawa. Katanya, “Baiklah. Kita menunggu di sini.“ Demikian, mereka sempat berbicara tentang peristiwa yang telah terjadi di Tanah Perdikan. Tentang Senapati Pasukan Khusus yang menentang perintah, dan tentang kehadiran pasukan Mataram yang hampir terlambat. Dalam pada itu, di banjar, para pemimpin prajurit Mataram telah bersiap. Demikian pula pasukan segelar sepapan yang akan kembali ke Mataram dengan membawa kawan-kawan mereka yang terluka. Ada beberapa orang yang telah menjadi korban dan telah dibawa lebih dahulu ke Mataram. Di dapur banjar padukuhan induk, beberapa orang perempuan telah sibuk pula menyiapkan makan bagi para prajurit yang akan berangkat ke Mataram itu. Bahkan juga beberapa orang perempuan di rumah Ki Gede. Ketika matahari mulai membayang, Sekar Mirah telah berada di rumah Ki Gede pula. Demikian pula Ki Jayaraga dan Glagah Putih. Sementara Ki Patih Mandaraka telah duduk di pendapa pula bersama Kiai Gringsing, Ki Waskita, Ki Gede dan Ki Jayaraga. Tiga orang yang menyertai Ki Patih Mandaraka ikut pula duduk bersama mereka. Dengan kecewa Ki Patih yang mendengar perubahan rencana Kiai Gringsing berkata, “Rasa-rasanya aku akan menjadi kesepian di perjalanan.“ “Maaf Ki Patih. Muridku yang muda baru pagi ini tiba. Aku ingin mengawaninya barang satu dua hari di sini,“ jawab Kiai Gringsing. Ki Patih ternyata dapat mengerti. Katanya, “Baiklah. Tetapi aku mohon Kiai dapat singgah di Mataram dalam perjalanan Kiai kembali ke Jati Anom.” “Mudah-mudahan Ki Patih. Namun agaknya semua yang aku ketahui dalam hubungannya dengan Madiun karena kepergianku ke Madiun, telah aku sampaikan kepada Angger Panembahan Senapati,“ berkata Kiai Gringsing. “Peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan ini akan memerlukan pembahasan,“ jawab Ki Patih Mandaraka. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya memang demikian.“ Namun pembicaraan mereka pun terhenti. Sekar Mirah yang sudah berada di rumah itu telah mengatur hidangan yang harus dihidangkan ke pendapa. Minuman hangat dan beberapa potong makanan. Kemudian telah dihidangkan pula makan pagi bagi para pemimpin prajurit Mataram yang ada di rumah Ki Gede, orang-orang tua dan para pemimpin Tanah Perdikan sendiri, yang menemui para tamu dari Mataram di saat-saat terakhir. Dalam waktu yang hampir bersamaan, maka para pemimpin prajurit Mataram serta seluruh pasukan yang ada di banjar dan sekitarnya pun telah mendapat hidangan minum dan makan pula, sebelum mereka berangkat meninggalkan Tanah Perdikan. Namun dalam pada itu, pasukan pengawal Tanah Perdikan di seluruh Tanah Perdikan justru telah berjaga-jaga. Mereka sepenuhnya bertanggung jawab atas perlindungan terhadap Tanah Perdikannya. Pengalaman pahit atas sikap Senapati dari Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan merupakan pelajaran, bahwa para pengawal Tanah Perdikan harus benar-benar mampu melindungi kampung halamannya. Tetapi pimpinan Pasukan Khusus yang baru, yang di bantu oleh Ki Lurah Branjangan yang berpengalaman luas, memberikan kemungkinan yang jauh berbeda dengan pimpinan yang lama. Ketika kemudian matahari naik di atas ujung pepohonan, maka pasukan Mataram telah benar-benar siap untuk berangkat. Ki Patih Mandaraka telah mohon diri kepada para pemimpin Tanah Perdikan dan orang-orang tua yang masih tinggal. “Aku mohon maaf, bahwa karena kehadiranku, beberapa anak muda terbaik di Tanah Perdikan ini telah gugur,“ berkata Ki Patih. “Tidak,“ jawab Ki Gede, “kami-lah yang mohon maaf, justru ternyata kami bukan tuan rumah yang baik.“ Ki Patih tertawa. Katanya, “Kita telah melakukannya bersama-sama, mempertahankan hak kita, di samping hak hidup kita.“ “Semoga perjalanan Ki Patih tidak mengalami hambatan apapun,“ berkata Ki Gede kemudian. Demikianlah, ketika cahaya matahari mulai terasa gatal di kulit, Ki Patih Mandaraka benar-benar telah meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan. Para pemimpin Tanah Perdikan dan orang-orang tua mengantar mereka lewat banjar padukuhan induk, keluar gerbang padukuhan. Sementara itu, sekelompok pasukan pengawal berkuda Tanah Perdikan telah mendahului pasukan Mataram yang segelar sepapan itu. Untuk membangkitkan kebanggaan penghuni Tanah Perdikan Menoreh, serta menghapuskan kesan kecemasan dan ketakutan setelah Tanah Perdikan itu dilanda oleh kerusuhan yang mengguncangkan segi-segi kehidupan, maka pasukan Mataram telah berbaris dengan segenap tanda-tanda kebesaran pasukan sebagai pasukan pilihan. Sebenarnyalah orang-orang Tanah Perdikan Menoreh menjadi berbesar hati melihat sepasukan prajurit Mataram dengan segala macam pertanda kebesarannya. Rontek, umbul-umbul, klebet dengan tunggul masing-masing. Dengan demikian maka orang-orang Tanah Perdikan tidak merasa cemas bahwa mereka akan mengalami kesulitan atas kehadiran orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Dalam pada itu, atas perintah Ki Patih Mandaraka, maka di barak Pasukan Khususp un telah dipasang pula pertanda kebesaran Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan itu. Selain mereka, maka para pengawal Tanah Perdikan sendiri telah menunjukkan keperkasaan mereka di antara para prajurit Mataram yang akan meninggalkan Tanah Perdikan itu. Dalam pada itu, para pengawal telah mengantar pasukan Mataram yang segelar sepapan itu sampai ke Kali Praga. Ternyata aliran Kali Praga yang keruh itu nampak agak naik sedikit, sehingga pasukan yang segelar sepapan itu harus bersabar, bergantian menyeberang dengan rakit, meskipun semua rakit telah dikerahkan untuk pasukan Mataram itu. Namun akhirnya kelompok yang terakhir pun telah menyeberang pula. Sebelum naik ke atas rakit, Ki Patih Mandaraka masih sempat berpesan kepada Agung Sedayu yang memimpin sekelompok pengawal Tanah Perdikan, “Berhati-hatilah. Sebenarnyalah Kiai Gringsing sudah terlalu tua, dan percayalah kepadaku, Kiai Gringsing dalam keadaan sakit. Tetapi jangan sedih, karena ia telah menempuh kehidupan wajar sebagai kebanyakan orang, yang pada saatnya lahir, besar dan akhirnya kembali kepada Yang Maha Agung.” Terasa sesuatu bergejolak di dalam jantung Agung Sedayu. Tetapi ia melihat Ki Patih Mandaraka itu tersenyum. Katanya, “Kau harus bertanya kepada dirimu sendiri. Tanggapan apakah yang harus kau berikan kepada Kiai Gringsing?“ Agung Sedayu tidak dapat segera menjawab. Sementara Ki Patih Mandaraka telah menepuk bahunya sambil berdesis, “Kau adalah harapan bagi masa depan. Gurumu adalah bagian dari masa yang lewat. Tetapi masa ke masa itu tidak terputus, karena kau telah mewarisi ilmunya. Jangan terlalu berbangga jika gurumu pernah berkata kepadaku, bahwa kau telah memenuhi harapannya. Meskipun gurumu masih sedikit berprihatin tentang adik seperguruanmu.“ Ki Patih itu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi aku percaya bahwa kau tidak saja sekedar ingin memenuhi harapan gurumu. Tetapi juga harapan banyak orang di Tanah Perdikan Menoreh khususnya, dan Mataram pada umumnya.“ Agung Sedayu hanya menundukkan kepalanya saja. Sementara itu Ki Patih berkata, “Sudahlah. Aku akan melanjutkan perjalanan. Bawa pasukanmu kembali ke Tanah perdikan dengan dada tengadah. Pasukan Khusus di Tanah Perdikan tidak menjadi masalah lagi bagi Ki Gede.” “Terima kasih Ki Patih,“ hanya kata-kata itu yang terlontar dari bibir Agung Sedayu. Sedangkan Ki Patih berkata, “Banyak pihak di istana yang memberikan pendapatnya, agar Mataram memberikan semacam pertanda bahwa kau sudah banyak memberikan pengorbanan dan pengabdian kepada Mataram. Sudah sepantasnya jika kau mendapat kedudukan yang tinggi di bidang keprajuritan. Tetapi sepanjang pengenalanku atas sifat-sifatmu, maka diperlukan satu penghargaan lain kepadamu.“ “Ah,“ desah Agung Sedayu, “tidak ada yang pantas mendapat penghargaan.“ “Aku tahu. Itu adalah sikapmu,“ jawab Ki Patih. “Jika kau mempunyai jiwa seperti kakakmu Untara, maka persoalannya akan berbeda. Kau dan kakakmu akan bersama-sama menerima anugrah pangkat Tumenggung.“ “Tempatku ada di antara anak-anak muda yang membangun bendungan, Ki Patih. Atau di antara mereka yang membuat jalan dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain,“ jawab Agung Sedayu. Ki Patih tertawa. Katanya, “Baiklah, untuk sementara hal itu dapat kau lakukan Agung Sedayu. Kau dapat berada di lapangan. Tetapi sebenarnya kau dapat melakukan lebih dari itu. Membuat bendungan, jalan-jalan raya dan barangkali juga membuka tanah garapan baru. Tidak sekedar untuk satu daerah yang sempit. Tetapi kau dapat melakukannya untuk satu daerah yang jauh lebih luas. Sudah tentu tidak perlu harus kau lakukan sendiri.“ Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia tidak dapat dengan cepat menangkap maksud Ki Patih Mandaraka. Namun kemudian Ki Patih berkata, “Agung Sedayu. Pada suatu saat, kau akan melakukan kerja yang jauh lebih besar. Bukan orang yang langsung berada di dalam lumpur untuk membuat tanggul. Tetapi kau akan dapat menjadi seorang yang mempergunakan nalar budimu untuk merencanakan dan melaksanakan kerja yang besar. Bukan hanya sebuah bendungan yang akan mengairi tiga atau empat bulak persawahan. Tetapi kau dapat merencanakan lima atau enam buah bendungan. Membuat susukan yang membelah daerah yang luas, serta merencanakan membuat jalan bukan dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain, tetapi dari satu kota ke kota yang lain.“ Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak sempat menjawab, Ki Patih sekali lagi menepuk bahunya sambil berkata, “Kau akan dapat mengisi masa depan. Sudahlah. Kau dapat bekerja lebih keras. Juga kau masih akan dapat meningkatkan ilmumu pada tataran yang setidak-tidaknya sama dengan gurumu, karena pada dasarnya kau mempunyai bekal lebih banyak dari gurumu.“ “Aku mohon restu,“ berkata Agung Sedayu. Ki Patih tersenyum. Namun kemudian sebuah rakit telah bergerak dibarengi dua rakit yang lain. Ki Patih telah menyeberangi Kali Praga, disusul oleh para prajurit yang masih tersisa di tepian. Namun, demikian Ki Patih mencapai sisi yang lain sambil melambaikan tangannya, maka Agung Sedayu pun telah melambaikan tangannya pula. Tetapi ia berkata di dalam hati, “Agaknya tempatku bukan di lingkungan yang lebih luas dari sebuah Tanah Perdikan.“ Ternyata semakin lama Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan Menoreh, ia merasa semakin terikat dengan Tanah Perdikan itu. Namun ketika kemudian pasukan Mataram yang mengikuti Ki Patih Mandaraka itu kemudian meninggalkan tepian Kali Praga, serta Agung Sedayu pun telah berkuda bersama sekelompok pengawal kembali ke Tanah Perdikan, maka Agung Sedayu telah digelitik oleh kegelisahannya sendiri. Ia sadar, bahwa ia sama sekali tidak mempunyai hak apapun atas Tanah Perdikan itu. Jika ia berada di Tanah Perdikan itu, karena Sekar Mirah adalah adik Swandaru yang menjadi suami Pandan Wangi. “Satu belitan hubungan yang panjang,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Sementara itu, ia masih juga dibayangi oleh hak yang ada pada adik Ki Gede Menoreh, yang meskipun seakan-akan telah mengasingkan diri, tetapi Ki Argajaya adalah orang kedua di Tanah Perdikan. Sedangkan Ki Argajaya adalah ayah Prastawa, yang kini menjadi salah seorang di antara para pemimpin pengawal Tanah Perdikan. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jalan yang akan dilaluinya nampak berkabut tebal. Namun Agung Sedayu tidak dapat dengan segera memecahkan kabut tebal itu. Ia memerlukan waktu, perkembangan keadaan dan perkembangan penalarannya sendiri. Demikianlah, maka Agung Sedayu pun telah membawa sekelompok pasukannya kembali ke padukuhan induk. Swandaru dan gurunya masih menunggunya di rumah Ki Gede. Sekar Mirah pun masih juga berada di rumah Ki Gede untuk menyiapkan hidangan bagi tamu-tamunya yang masih tinggal. Untuk beberapa lama Agung Sedayu dan Swandaru masih berada di rumah Ki Gede. Tetapi ternyata bahwa Swandaru merasa lebih bebas untuk berada di rumah Agung Sedayu. Karena itu, maka Swandaru pun kemudian telah mohon agar Kiai Gringsing bersedia untuk pergi ke rumah Agung Sedayu pula. Tetapi Kiai Gringsing sambil tersenyum menjawab, “Pergilah dahulu. Aku masih akan berada di sini bersama orang-orang tua yang sudah terlalu lama tidak bertemu. Tentu saja kita mengharap agar Ki Waskita berada di Tanah Perdikan ini untuk beberapa hari lagi. Nanti aku akan segera menyusul.“ “Tetapi bukankah seharusnya Guru sudah meninggalkan rumah ini pula?“ bertanya Swandaru. “Tetapi bukankah aku belum meninggalkan rumah ini? Sementara di sini masih ada tamu yang lain? Aku-lah yang telah memohon Ki Waskita untuk hadir. Kakakmu Agung Sedayu telah menyusulnya dan mohon agar Ki Waskita bersedia datang. Bukankah sudah seharusnya aku ikut menemui sementara Ki Waskita berada di Tanah Perdikan?“ jawab Kiai Gringsing. Tetapi Ki Waskita tertawa. Katanya, “Kerinduan seorang murid kepada gurunya. Silahkan Kiai. Biarlah aku berada di sini bersama Ki Gede dan Ki Jayaraga. Bukankah nanti Kiai akan datang lagi kemari? Aku tidak tergesa-gesa meninggalkan tempat ini. Apalagi karena Kiai juga menunda keberangkatan Kiai.“ Namun Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Swandaru perlu beristirahat barang sejenak, seperti juga Agung Sedayu sendiri. Karena itu, biarlah mereka mendahului kembali ke rumah Agung Sedayu.“ Swandaru ternyata tidak dapat memaksa gurunya untuk meninggalkan rumah itu. Tetapi seperti kata gurunya, ia memang ingin beristirahat. Karena itulah, maka Agung Sedayu dan Swandarupun telah meninggalkan rumah Ki Gede dan menuju ke rumah Agung Sedayu. Namun sementara itu. Glagah Putih telah berada di rumah Ki Gede, sebagaimana Sekar Mirah dan Ki Jayaraga. Ketika Agung Sedayu dan Swandaru sampai ke rumah Agung Sedayu, ternyata para pengawal Swandaru pun telah mendapat kiriman minum dan makanan dari rumah Ki Gede. Namun masih ada di antara mereka yang masih tertidur di gandok. Namun begitu mereka mengetahui bahwa Swandaru telah datang bersama Agung Sedayu, maka kawan-kawan mereka pun dengan cepat telah membangunkan mereka. Dengan tergesa-gesa mereka pun membenahi diri dan siap melakukan tugas jika perintah itu datang. Tetapi Swandaru justru mendekati mereka sambil berkata, “Kita mendapat kesempatan beristirahat sekarang. Aku pun akan beristirahat. Tetapi kalian jangan lengah. Tanah Perdikan ini baru saja dilanda oleh malapetaka.“ Para pengawalnya tidak menjawab. Sementara Swandaru pun telah dipersilahkan untuk masuk ke ruang dalam. “Sekar Mirah berada di rumah Ki Gede,“ berkata Agung Sedayu yang rumahnya terasa lengang. Namun ia dapat minta pembantu rumahnya untuk menyediakan minuman bagi tamunya. “Kau sedang apa?“ bertanya Agung Sedayu kepada pembantunya itu. “Membersihkan ikan,“ jawab anak itu. “O, kau dapat begitu banyak?“ bertanya Agung Sedayu sambil memuji. “Dua kali aku turun ke sungai semalam,“ jawab anak itu dengan bangga. “Kau sendiri atau dengan Glagah Putih?“ bertanya Agung Sedayu pula. “Glagah Putih menjadi semakin malas sekarang ini,“ jawab anak itu, “ada-ada saja alasannya.“ Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Tetapi ternyata kau dapat menangkap ikan sebanyak itu sendiri dengan menutup pliridan dua kali semalam. Tentu hari ini Nyi Sekar Mirah tidak usah berbelanja lagi. Kendo udang dan rempeyek wader pari akan menjadi lauk yang nikmat sekali.“ Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi tolong, kau buat minuman panas buat kami berdua. Aku dan tamuku.“ Namun ternyata anak itu berdesis, “Kita akan mendapat makan yang dikirim dari rumah Ki Gede, atau dari banjar seperti para pengawal di gandok itu.“ “Mungkin siang ini.“ jawab Agung Sedayu, “nanti sore kita sempat menikmati hasil buruanmu itu.“ “Tetapi siapakah yang akan membuat kendo dan rempeyek, jika Nyi Sekar Mirah berada di rumah Ki Gede?“ bertanya anak itu lagi. Sambil menepuk bahu anak itu Agung Sedayu menjawab, “Nanti aku akan memanggilnya. Sediakan dahulu dua butir kelapa yang masih agak muda.“ “Dua?“ anak itu menjadi heran. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Jadi berapa? Tiga atau berapa saja diperlukan.“ Anak itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Satu saja tentu sudah cukup.“ Agung Sedayu tertawa. Namun kemudian sekali lagi ia berkata, “Tolong, kau sediakan minuman hangat. Wedang sere. Gula kelapa yang kuning.“ Sementara itu, selagi pembantu di rumah Agung Sedayu itu menyiapkan minuman hangat, Swandaru sempat berbenah diri setelah pergi ke pakiwan. Demikian ia mandi, terasa tubuhnya menjadi segar. Pikirannya pun terasa bertambah bening. Apalagi setelah minum minuman hangat. Maka rasa-rasanya keletihannya selama perjalanan di malam hari telah pulih kembali. Ketika Swandaru melihat-lihat halaman dan kebun rumah Agung Sedayu yang tidak begitu luas, tiba-tiba saja ia tertarik pada sebuah bangunan tertutup yang agak besar di kebun belakang. Swandaru mengerti bahwa bangunan itu adalah sanggar tertutup yang dipergunakan oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah, barangkali juga Glagah Putih untuk berlatih. Karena itu, maka rasa-rasanya ia tertarik untuk memasukinya lagi, sebagaimana pernah dilakukannya. “Apakah aku diperbolehkan untuk melihat-lihat?“ bertanya Swandaru kepada Agung Sedayu yang menemaninya. “Tentu saja. Bukankah kau pernah melihat?“ sahut Agung Sedayu. Swandaru mengangguk-angguk kecil. Iapun kemudian telah melangkah ke pintu sanggar. Membukanya dan kemudian melangkah masuk. Sanggar itu tidak terasa gelap, karena ada bagian yang terbuka di atasnya, sehingga sorot matahari pun telah menyuruk masuk. Sanggar itu masih belum banyak berubah sebagaimana pernah dilihatnya. Tidak jauh berbeda dengan sanggarnya di Sangkal Putung. Bahkan sanggarnya di Sangkal Putung agak lebih luas dari sanggar Agung Sedayu itu, dengan perlengkapan yang juga hampir sama. Tetapi Swandaru tidak memasang beberapa benda kecil yang dianggapnya tidak banyak berarti. Namun dari Agung Sedayu ia mendengar bahwa benda-benda kecil itu adalah alat untuk melatih dan mempertahankan kemampuan bidiknya. “Kau satu-satunya orang yang pernah mengalahkan Sidanti,“ berkata Swandaru. “Ah. Itu sudah terjadi bertahun-tahun lampau. Dan kini Sidanti sudah tidak ada lagi,“ jawab Agung Sedayu. “Kemampuan bidikmu tentu semakin tinggi,“ berkata Swandaru. Agung Sedayu menarik nafas. Katanya, “Aku mencoba untuk mempertahankannya.“ Swandaru termangu-mangu. Ia melihat seikat kecil jerami yang dibalut dengan kain sepanjang dua jengkal. Kemudian segenggam yang lain, yang dibentuk bulat, tergantung di bawah jerami yang memanjang itu. Tetapi di sebelahnya terdapat semacam kitiran dengan daun yang berlainan warna. Namun kemudian Swandaru tertarik pada sebongkah batu hitam yang besar. Di atasnya terdapat batu padas yang mengeras, meskipun tidak sekeras batu hitam itu. Sambil meraba batu padas itu Swandaru bertanya, “Kau berlatih memecahkan batu-batu padas dengan cambukmu?“ Namun ternyata hampir di luar sadarnya Agung Sedayu menjawab, “Glagah Putih yang melakukan latihan dengan batu-batu padas yang mengeras ini.“ “Apakah Glagah Putih juga mempergunakan cambuk sekarang?“ bertanya Swandaru. Namun sebelum Agung Sedayu menjawab, Swandaru berkata selanjutnya, “Kakang, apakah Guru sudah mengijinkan orang lain mempergunakan ciri-ciri perguruan menurut aliran Orang Bercambuk itu? Bukankah Kakang menuntun Glagah Putih dalam keturunan ilmu menurut aliran Ki Sadewa? Aliran yang tidak mempergunakan ciri senjata cambuk.“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang tidak. Glagah Putih tidak mempergunakan ciri senjata cambuk.“ “O,“ Swandaru mengangguk-angguk, “dengan apa ia memecahkan batu-batu padas seperti ini?“ Agung Sedayu termangu-mangu. Di pinggir sanggar itu memang terdapat banyak batu padas berbongkah-bongkah. Glagah Putih memang mengumpulkan batu-batu padas itu untuk mempertajam kemampuannya memukul dari jarak jauh sebagaimana diajarkan oleh Ki Jayaraga, dengan sasaran yang berbeda-beda, karena Ki Jayaraga mengajarinya menyadap inti kekuatan dari sumber yang berbeda. Api, udara, air dan bumi. Di samping laku lain yang harus dijalani di luar sanggar. Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Swandaru telah bertanya pula, “Nampaknya inti kekuatan aliran Ki Sadewa benar-benar luar biasa. Glagah Putih tentu sudah memasuki puncak kemampuan itu, sehingga mampu memecahkan batu-batu padas dengan tangannya.“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Anak itu sudah berlatih dengan sungguh-sungguh. Mudah-mudahan ia berhasil.“ “Apakah kau yang mengajarinya menurut aliran Ki Sadewa, sudah mampu melakukannya dengan tanganmu?“ tiba-tiba saja Swandaru bertanya. Agung Sedayu memang menjadi semakin bingung. Ia memang mengajari Glagah Putih sejak semula menurut jalur aliran ilmu Ki Sadewa. Tetapi ia sendiri adalah murid Kiai Gringsing yang menganut ciri tersendiri. Tetapi di dalam dirinya kedua aliran ilmu itu, bahkan dengan beberapa jenis ilmu yang dikuasainya dari sumber yang berbeda, telah luluh menyatu. Bahkan gurunya sama sekali tidak menganggap bahwa ia telah melakukan kesalahan. Gurunya justru berbangga karena Agung Sedayu telah memperkaya aliran ilmu yang diwarisinya dari gurunya itu, asal bukan jenis ilmu yang wataknya berlawanan. Namun karena Agung Sedayu harus menjawab pertanyaan Swandaru, maka iapun kemudian berkata, “Aku memang menuntun Glagah Putih menurut bekal yang sedikit diwarisi dari ayahnya. Ilmu yang bersumber sama dengan aliran ilmu Ki Sadewa. Tetapi sebagaimana kau ketahui, aku dimatangkan oleh ilmu dari aliran Orang Bercambuk itu, sehingga sudah tentu bahwa aku bukan Ki Sadewa, meskipun aku adalah anak Ki Sadewa. Tetapi aku belum sempat menerima warisan ilmu dari Ayah. Memang agak berbeda dengan Kakang Untara.“ Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kakang. Sebaiknya kau memilih salah satu jalur dari beberapa jenis ilmu yang kau pelajari. Tetapi harus benar-benar kau tekuni sampai matang dari tingkat ke tingkat. “ Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun katanya, “Tetapi bukankah di dalam kitab Guru itu, pada tingkat-tingkat berikutnya terdapat juga beberapa jenis ilmu, meskipun dengan landasan yang sama?“ “Kau harus memilih Kakang,“ jawab Swandaru, “kita tidak boleh serakah sehingga ingin menguasai dua atau tiga jenis sebagaimana Guru. Mungkin menjelang usia tua kita dapat melakukannya sebagaimana dilakukan oleh Guru. Tetapi sudah tentu memerlukan waktu dan kematangan penguasaan ilmu. Mungkin saja sekarang kita dapat mempelajari dua atau tiga jenis ilmu. Tetapi justru semuanya akan tetap masih saja mentah dan tidak menyentuh inti kekuatan ilmu dari Guru kita.“ Agung Sedayu termangu-mangu. Ia tidak tahu, jawaban apa yang harus dikatakannya. Setiap kali mereka berbicara tentang ilmu, maka Agung Sedayu memang menjadi bingung. Namun Agung Sedayu itu harus mengakui kesalahannya, bahwa hatinya tidak terbuka sebagaimana Swandaru. Jika sejak semula ia terbuka, maka tidak akan terjadi kesalahan penilaian seperti itu, sehingga ia mengalami kesulitan untuk memperbaikinya. Selagi Agung Sedayu termangu-mangu, maka Swandaru telah mengurai cambuknya. Sambil tersenyum ia berkata, “Ilmu dari Orang Bercambuk itu tidak akan kalah dari aliran ilmu yang manapun. Sebenarnya aku ingin melihat Glagah Putih berlatih. Bagaimana ia memecahkan batu-batu padas itu.“ Agung Sedayu tidak menjawab. Namaun sementara itu Swandaru telah memutar cambuknya. Agung Sedayu memang menjadi berdebar-debar. Ia tahu, bahwa Swandaru ingin menunjukkan kemampuan ilmunya kepadanya. Bahkan kepada Agung Sedayu iapun berniat baik untuk mendorong agar ia berusaha untuk meningkatkan ilmunya. Namun terasa juga sikap ingin tahu dan kemudian melampaui kemampuan Glagah Putih, yang menilik dari alat-alat latihannya telah menjadi semakin meningkat ilmunya. Sejenak Swandaru masih memutar cambuknya. Kemudian dengan mengerahkan tenaga dan kemampuan ilmunya maka Swandaru telah menghentakkan cambuknya ke arah batu padas yang berada di atas batu hitam, sebagai bahan latihan Glagah Putih itu. Satu ledakan yang keras telah menggetarkan sanggar yang tidak terlalu besar itu. Seperti yang diduga oleh Agung Sedayu, maka batu padas yang mengeras itu telah pecah berhamburan. Bahkan Agung Sedayu telah melihat bahwa batu hitam itu pun telah terluka. Sebaris goresan menjelujur pada batu hitam itu. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia pernah melihat Swandaru mencambuk tanah tempatnya berpijak sehingga seakan-akan terbelah. Agung Sedayu percaya akan kekuatan yang sangat besar pada adik seperguruannya itu, yang berpijak pada ilmu yang sama dengan landasan ilmu yang diwarisi dari Orang Bercambuk itu. Dengan kekuatan ilmu yang sangat besar itu, Agung Sedayu memang berpendapat, bahwa cambuk Swandaru agaknya mampu menembus ilmu kebalnya. Tetapi dalam pertempuran yang sebenarnya, maka sisa kekuatan cambuk yang menembus ilmu kebalnya tidak akan menyakitinya, karena kekuatan Swandaru yang diungkapkannya itu adalah sekedar ungkapan kewadagan. Ternyata Swandaru masih belum menggapai inti kekuatan ilmu Orang Bercambuk itu, dimana tenaga, kekuatan dan nilai dari ungkapan ilmunya itu justru tidak lagi menimbulkan bunyi ledakan yang sangat keras, karena semua tenaga telah terserap pada hentakan itu sendiri tanpa mengalir sedikitpun untuk mendorong getaran bunyi yang berlebihan. Sebenarnyalah Agung Sedayu pun merasa prihatin atas kelambatan perkembangan ilmu Swandaru, yang memang waktunya lebih banyak dirampas bagi kademangannya. Swandaru memang telah bekerja keras untuk menjadikan kademangannya satu kademangan yang besar dalam arti yang sebenarnya. Kesejahteraan hidup rakyatnya meningkat dengan pesat, sehingga Sangkal Putung banyak menjadi kiblat usaha perbaikan dari beberapa kademangan yang lain. Namun kademangan-kademangan yang lain tidak mempunyai Swandaru. Tidak mempunyai seorang penggerak yang berpegang keras pada paugeran yang sudah disusun bersama oleh seisi kademangan. Apalagi kademangan yang tidak pernah ditempa oleh kerasnya kehidupan dalam pusaran pergeseran pemerintahan seperti Sangkal Putung. Sebagai seorang pengawal, ilmu Swandaru memang sudah melambung tinggi. Seandainya ia harus bertempur melawan orang-orang berilmu, maka Swandaru memang tidak mudah dikalahkan. Tetapi jika ia harus menghadapi orang-orang seperti Sabungsari, bahkan Glagah Putih, apalagi Bango Lamatan, maka Swandaru masih harus melengkapi ilmunya. Ia masih harus mencapai inti kekuatan ilmu orang bercambuk, khususnya dalam ilmu cambuk itu sendiri, serta ilmu pelengkap lainnya yang tidak usah dicarinya kemana-mana, tetapi dapat dicari di dalam kitab yang diberikan gurunya kepada mereka. Tetapi sudah barang tentu memerlukan laku yang berat dan memerlukan waktu khusus, yang akan dapat mengurangi waktunya yang diperuntukkan bagi kademangannya. “Seharusnya Swandaru menyusun tenaga anak-anak muda yang akan dapat mengisi kekurangannya jika ia sendiri harus menjalani laku bagi dirinya sendiri,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, yang melihat Swandaru seakan-akan telah memegang segala kepemimpinan di Kademangan Sangkal Putung atas nama ayahnya. Namun demikian, Agung Sedayu tidak dapat berkata apa-apa. Ia menyadari, bahwa Swandaru tidak melihat perbandingan ilmu yang sebenarnya di antara kedua orang murid Kiai Gringsing itu. Sementara itu Agung Sedayu masih saja tertutup hatinya. Justru ia bimbang, bahwa ia akan dianggap terlalu sombong, tidak tahu diri dan membuat Swandaru marah, sehingga ia tidak dapat mengatakan apa-apa, meskipun ia sadar bahwa dengan demikian ia sudah menyembunyikan kebenaran. Bahwa Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Swandaru telah keliru menilai pula. Ia menganggap bahwa Agung Sedayu memang menjadi kagum akan kekuatannya. Ujung cambuknya bukan saja memecahkan batu-batu padas yang mengeras, tetapi batu padas hitam yang menjadi alas batu padas itu pun telah tergores oleh luka karena ujung cambuknya. Agung Sedayu memang seperti terbangun dari lamunannya ketika ia mendengar Swandaru bertanya, “Bagaimana cara Glagah Putih memecahkan batu-batu padas itu?“ Agung Sedayu memang menjadi bingung. Namun kemudian iapun menjawab, “Ia sedang melatih diri. Ia mempergunakan senjata yang merupakan hadiah terbesarnya dari Ki Patih Mandaraka. Sebuah ikat pinggang.“ “Ia memecahkan batu-batu padas dengan ikat pinggang?“ bertanya Swandaru. “Ya. Tetapi sudah tentu tidak sebagaimana kau lakukan. Glagah Putih memecahkan batu-batu padas sedikit demi sedikit seperti seorang mengupas buah-buahan,“ jawab Agung Sedayu dengan jantung yang berdebaran. Tetapi suara lain di dalam hatinya membentaknya, “Kenapa kau tidak berkata berterus-terang?“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jika ia berterus-terang, maka ia menjadi cemas bahwa Swandaru ingin menguji langsung kemampuan Glagah Putih, sementara Glagah Putih yang masih sangat muda dan sedikit terpengaruh oleh kenakalan Raden Rangga itu akan menanggapinya. Meskipun Agung Sedayu tidak mengatakan yang sebenarnya, ternyata Swandaru telah menyahut, “Luar biasa. Masih semuda itu ia telah mempunyai kekuatan yang sangat tinggi. Tetapi sebagian besar dari kemampuannya tentu disebabkan oleh kekuatan yang tersimpan pada pusaka yang diterimanya dari Ki Patih Mandaraka. Glagah Putih tentu tidak akan dapat mempergunakan senjata lain untuk melakukannya, karena dalam senjata itu tidak tersimpan kekuatan yang sangat besar.“ Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Namun ia berusaha sedikit menjelaskan, “Tetapi sebagaimana cambuk kita, yang membuat Adi Swandaru mampu memecahkan batu itu, bukannya cambuk itu. Tetapi kekuatan dan kemampuan Adi Swandaru. Dengan pedang pun aku kira Adi Swandaru akan dapat melakukannya, asal dibuat dari baja yang terpilih dan tidak justru patah.“ “Tentu agak lain,“ jawab Swandaru, “Guru memberikan cambuk kepada kita dengan perhitungan kekuatan bahan dan buatannya. Sama sekali bukan senjata yang memiliki kekuatan dukungan tersendiri, sebagaimana ikat pinggang itu.“ Tetapi Agung Sedayu menjawab, “Apapun ujud senjata itu, namun yang berperan akhirnya juga pemiliknya.“ Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun ia menjawab, “Kakang tentu pernah mendengar berjenis-jenis senjata pusaka. Bahkan yang tersimpan di keraton pun terdapat beberapa macam benda pusaka, yang mempunyai pengaruh langsung kepada orang-orang yang memilikinya.“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun sebagaimana pernah dikatakan oleh beberapa orang tua, bahwa orang-orang yang menguasai senjata itulah yang menentukan. Tentu saja orang-orang yang berpribadi kuat, sehingga teguh kepada pegangan serta sumber hidupnya. Keseimbangan antara senjata dan para pemiliknya merupakan unsur yang menentukan. Dan Agung Sedayu sendiri ternyata dengan penuh keyakinan telah mempergunakan senjata yang tidak termasuk pusaka yang bertuah. Namun dengan kemampuan ilmunya, kepribadiannya yang tegak berpegang kepada sumber hidupnya, maka ia telah mampu melawan orang-orang yang merasa dirinya menggenggam pusaka di tangannya. Tetapi Agung Sedayu tidak menjawab. Ia mengangguk-angguk kecil. Namun Agung Sedayu terkejut ketika tiba-tiba saja Swandaru berkata, “Nah, aku ingin melihat Kakang mempergunakan cambuk yang Kakang terima dari Orang Bercambuk itu. Tentu Kakang tidak boleh kalah dari Glagah Putih yang menjadi murid Kakang itu.“ Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Sudahlah. Lain kali kita bermain-main di dalam sanggar ini, jika waktu kita terluang banyak. Sekarang, barangkali kita mempunyai pekerjaan lain. Aku belum melihat Sekar Mirah pulang. Aku kira tugasnya di rumah Ki Gede sudah selesai.“ Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tertawa, “Kakang selalu mengelak. Tetapi Kakang telah menunjukkan justru kemampuan Glagah Putih, anak ingusan yang berguru kepada Kakang.“ “Glagah Putih tidak hanya mewarisi ilmu dari aliran Ki Sadewa. Tetapi ia juga murid Ki Jayaraga,“ berkata Agung Sedayu. “Sebenarnya Kakang tidak perlu menyembunyikan kenyataan di hadapanku. Kita adalah saudara seperguruan. Kekuranganku adalah kekurangan Kakang. Sebaliknya, kelebihanku adalah kelebihan Kakang. Demikian pula sebaliknya.“ Agung Sedayu justru menjadi berdebar-debar. Tetapi kelemahannya tidak memungkinkannya untuk menyatakan kenyataan tentang dirinya dan tentang adik seperguruannya itu. Yang dikatakannya kemudian adalah, “Kita perlu beristirahat sekarang. Kita akan mendapatkan kesempatan lain untuk melihatnya kelak.“ Swandaru memang menjadi kecewa. Tetapi ia tidak dapat memaksa Agung Sedayu. Ia tidak ingin membuat kakak seperguruannya itu kemudian merasa rendah diri, justru saat-saat tenaganya diperlukan bagi Tanah Perdikan Menoreh. “Ia harus yakin akan dirinya,“ berkata Swandaru di dalam hatinya. “Jika ia tidak menyadari kekurangannya pada saat seperti ini, bukan saja Kakang Agung Sedayu yang akan mengalami kesulitan, tetapi juga anak-anak muda di seluruh Tanah Perdikan.“ Karena itu, maka Swandaru pun kemudian menggulung cambuknya kembali sambil berkata, “Pada kesempatan lain kita akan membuat perbandingan ilmu. Aku kira sudah waktunya, apalagi Guru sudah menjadi semakin tua, sementara kita masih jauh dari cukup memahami ilmu yang tertulis di dalam kitab yang diberikan oleh Guru kepada kita.“ “Jangankan memahami,“ berkata Agung Sedayu, “satu bab pun kita belum sempat mencapai intinya. Tentu memerlukan waktu.“ Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi menurut pendapatnya, Agung Sedayu tentu tidak dengan sengaja menyindirnya, karena Swandaru sendiri sebenarnya merasa bahwa ilmu cambuknya masih harus dikembangkan dan disempurnakan untuk memasuki inti ilmunya itu. “Kakang Agung Sedayu akan dapat menyebut ilmuku jika ilmunya sendiri mampu melampauiku,“ berkata Swandaru di dalam hatinya. “Yang dikatakan itu memang mirip sebuah keluhan. Nampaknya lebih banyak ditujukan kepada dirinya sendiri.“ Tetapi Swandaru tidak menjawab lagi. Ketika kemudian Agung Sedayu mempersilahkannya untuk pergi ke pendapa, maka mereka pun telah keluar dari sanggar, sementara Swandaru sempat meraba sejenis senjata yang jarang dipergunakan. Sebuah kapak bermata dua, berujung tombak dan bertangkai agak panjang. Juga sebuah pedang yang lengkung dan tajamnya luar biasa, tergantung di dinding tanpa sarung. Tetapi Swandaru berdesis sambil mengamati pedang itu, “Apakah pedang ini tidak mudah patah?“ Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya, “Tidak. Tetapi tentu membutuhkan satu cara penggunaan yang khusus, yang perlu dipelajari tersendiri. Unsur-unsur gerak yang dipergunakan harus disesuaikan dengan watak senjata itu sendiri, sebagaimana kapak bermata dua dan berujung tombak itu. Di sudut itu ada pula sejenis senjata yang jarang dipergunakan di sini. Dua batang tongkat pendek yang dihubungkan dengan rantai.“ Swandaru mengangguk-angguk. Sementara itu Agung Sedayu berkata, “Ki Jayaraga-lah yang telah mempelajarinya dengan modal pengetahuan kecil yang diperolehnya dari seorang sahabatnya yang pernah mengembara. Ia mencoba mengembangkannya. Namun ternyata ia tidak mendapatkan banyak kemajuan, sehingga akhirnya minatnya telah hilang. Senjata itu seperti senjata-senjata asing yang lain, yang sekedar menjadi kumpulan senjata di sini. Ki Jayaraga masih sanggup untuk mengambil lagi beberapa jenis senjata yang disembunyikan di tempat yang tidak mudah ditemukan oleh siapapun.“ “Siapakah sebenarnya orang itu?“ bertanya Swandaru, “Nampaknya ia tidak banyak diketahui asal-usulnya.“ “Ya. Tetapi aku percaya kepadanya. Sikapnya, tingkah lakunya selama ia berada di sini, menunjukkan bahwa ia bukan seorang yang pantas di curigai. Ia hampir tidak pernah meninggalkan Tanah Perdikan ini sejak ia berada di sini. Ia memang pernah pergi satu dua hari. Lalu kembali. Paling lama sepekan. Antara lain untuk mengambil jenis-jenis senjata yang disimpannya,“ berkata Agung Sedayu. Lalu berkata pula, “Guru juga mempercayainya.“ Swandaru mengangguk-angguk pula. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Sejenak kemudian mereka berada di pendapa. Ternyata di pendapa telah tersedia makanan yang agaknya dikirim oleh Sekar Mirah bagi Agung Sedayu dan Swandaru. Agaknya Sekar Mirah tidak dapat segera kembali karena masih ada yang harus dikerjakan di rumah Ki Gede. Karena itu, maka pembantu di rumah Agung Sedayu itu harus masak sendiri hasil buruannya semalam di pliridan. Tetapi ia sudah sering melakukannya. Tetapi ternyata dugaan Agung Sedayu bahwa Sekar Mirah tidak segera kembali itu keliru. Baru saja mereka mulai menghiruip minuman dan mencicipi makanan, maka mereka telah melihat Sekar Mirah memasuki halaman, rumah justru bersama Kiai Gringsing. Karena itu. maka dengan tergesa-gesa kedua orang muridnya telah menyongsongnya dan mempersilahkannya untuk naik ke pendapa. “Kami sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Ki Gede,“ berkata Swandaru. “Aku kira kalian justru tidur nyenyak,“ desis Kiai Gringsing sambil tersenyum, “bukankah kalian semalam suntuk tidak tidur? Apalagi Swandaru yang menempuh perjalanan jauh, sehingga tentu menjadi letih dan kantuk.“ “Kami tidak merasa apa-apa Guru,“ jawab Swandaru, “apalagi setelah kami mandi. Rasa-rasanya tubuh kami telah menjadi segar kembali.“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sambil naik ke pendapa dan kemudian duduk bersama Agung Sedayu dan Swandaru ia berkata, “Kalian memang memiliki daya tahan tubuh yang luar biasa.“ “Kami adalah murid Guru,“ jawab Swandaru. Tetapi Swandaru menjadi agak kecewa ketika Kiai Gringsing berkata, “Tetapi anak-anakku. Sebenarnya kalian tidak perlu menghambur-hamburkan tenaga seperti ini. Aku percaya bahwa kalian mempunyai daya tahan yang tinggi. Tetapi dalam keadaan yang tidak memaksa, kalian tidak perlu melakukannya, karena pada suatu saat kalian sangat memerlukannya. Tetapi jika terasa tidak mengganggu, maka hal itu pun tidak berpengaruh apa-apa.“ “Aku tidak merasa terganggu sama sekali, Guru,“ jawab Swandaru. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi iapun berkata, “Namun bagaimanapun juga, jika kalian memerlukan istirahat, serta ada waktu untuk melakukannya, sebaiknya kalian lakukan.“ “Kami pun telah beristirahat sebaik-baiknya Guru,“ jawab Swandaru. “Syukurlah,“ berkata’Kiai Gringsing. Namun sementara itu Sekar Mirah telah pula keluar ke pendapa dan duduk bersama mereka setelah menjenguk ke dapur. “Apakah pekerjaanmu sudah selesai?“ bertanya Agung Sedayu. “Belum. Tetapi makan pagi telah terbagi ke seluruh pasukan yang bertugas. Perempuan-perempuan yang ada di rumah Ki Gede dan di Banjar sedang masak untuk makan siang. Sementara itu telah dibagi tugas. Para pengawal di padukuhan-padukuhan akan mendapat makan dari padukuhan mereka masing-masing. Di setiap banjar padukuhan, perempuan-perempuan dari padukuhan itu sendiri akan masak bagi anak-anak muda mereka, sehingga dengan demikian tugas di banjar dan rumah Ki Gede bagi perempuan-perempuan di padukuhan induk ini menjadi lebih ringan. Namun bagi para pengawal khusus yang bertugas bagi Tanah Perdikan ini dan sekitarnya, memang dikirim dari padukuhan induk.“ Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Satu cara yang baik. Dimana Glagah Putih?“ “Masih di rumah Ki Gede. Ki Waskita dan Ki Jayaraga yang berada di rumah Ki Gede sedang berjalan-jalan. Mungkin nanti mereka akan singgah pula kemari, karena mereka tahu Kiai Gringsing ada di sini,“ jawab Sekar Mirah. Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Ya. Dan aku sudah berjanji bahwa aku akan menunggu mereka di sini.“ “Ki Waskita nampaknya sudah begitu rindu kepada Tanah Perdikan ini. Sawahnya, ladangnya dan parit-paritnya yang tidak pernah kering. Karena itu Ki Waskita tidak bersama-sama dengan Kiai Gringsing datang kemari. Tetapi kami berpisah di luar regol padukuhan induk,“ berkata Sekar Mirah pula. “Mereka memberi kesempatan kepadaku, jika ada pembicaraan yang penting di antara aku dan murid-muridku,“ berkata Kiai Gringsing. “Meskipun aku mengatakan bahwa tidak ada yang penting, tetapi sebaiknya aku membiarkan mereka berjalan-jalan lebih dahulu.“ “Memang tidak ada yang penting,“ berkata Swandaru, “tetapi kesempatan seperti ini jarang terjadi. Aku dan Kakang Agung Sedayu berada di tempat yang terpisah. Demikian pula Guru. Ternyata dalam kesempatan ini kita dapat bertemu.“ “Kau mempunyai tanggung jawab sendiri di Sangkal Putung, Swandaru, sementara Agung Sedayu mempunyai tugas dan kewajiban di sini. Karena itu, kalian memang tidak dapat berkumpul sebagaimana dua orang saudara sekandung. Di masa kanak-kanak mereka selalu bermain bersama. Kadang-kadang bertengkar, namun kemudian menjadi berbaik kembali. Namun setelah dewasa, maka mereka pun akan berpisah. Mereka akan pergi ke tempat tugas dan kewajiban mereka masing-masing,“ berkata Kiai Gringsing. “Bukankah dengan demikian justru pertemuan seperti ini menjadi penting?“ desis Swandaru. “Ya, ya. Aku mengerti maksudmu. Tetapi bukankah kita mempunyai waktu? Aku memang ingin berbicara dengan kalian berdua. Tetapi sebentar lagi, Ki Waskita dan Ki Jayaraga akan datang. Mereka tentu tidak akan dapat memperhitungkan dengan tepat, seberapa lama kita membutuhkan waktu untuk berbicara. Apalagi aku memang sudah terlalu tua. Apapun yang aku lakukan, namun jalanku sudah pasti.“ Agung Sedayu dan Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam Agung Sedayu pun berkata, “Kami memang masih mempunyai waktu, Guru. Bukankah Guru sudah memutuskan untuk tinggal barang satu dua hari?“ Kiai Gringsing mengangguk. Katanya, “Bukan maksudku menunda-nunda pekerjaan yang dapat diselesaikan hari ini, karena hal yang demikian dapat berakibat kurang baik. Tetapi mungkin karena ketuaanku, dalam setiap langkah rasa-rasanya aku harus benar-benar mempersiapkan diri.“ Swandaru menundukkan kepalanya. Sebenarnya ia ingin segalanya berjalan cepat. Yang dapat dilakukan saat itu, sebaiknya dilakukan. Yang ternyata tidak, barulah dipersiapkan kemudian. “Kakang Agung Sedayu memang akan banyak kehilangan waktu dengan cara yang demikian,“ berkata Swandaru di dalam hatinya, “Tetapi itu sudah sifatnya. Karena itu pula maka ia tidak dengan cepat meningkatkan ilmunya, meskipun aku sudah membiarkan kitab dari Guru itu ada di sini. Agaknya ia lebih mengagumi kemampuan bidiknya daripada menyempurnakan ilmu cambuknya. Sementara itu ilmu bidiknya itu hampir tidak banyak berarti dalam benturan kekerasan di dunia olah kanuragan. Kecuali jika Kakang Agung Sedayu sudah puas menjadi seorang pemburu yang baik, sehingga akan mampu memanah burung pipit di puncak pohon yang tinggi sekalipun.“ Namun ia tidak dapat memaksa gurunya untuk berbuat lain. Apalagi setelah gurunya mulai berbicara tentang perkembangan Tanah Perdikan yang dinilainya memang agak lamban dibandingkan dengan Sangkal Putung. “Mungkin karena Tanah Perdikan ini tidak memiliki tanah sesubur Kademangan Sangkal Putung,“ berkata Kiai Gringsing. “Di beberapa bagian dari ngarai tanahnya memang baik. Sawah terbentang luas dan selalu basah. Tetapi ada bagian lain yang memang tandus dan kurang memberikan kemungkinan untuk dikembangkan.“ “Penanganannya memang harus lain,“ berkata Swandaru, “cara di Kademangan Sangkal Putung belum tentu dapat ditrapkan di sini, yang mempunyai beberapa bagian tanah pegunungan. Agaknya Tanah Perdikan ini sebaiknya berpikir untuk memperluas tanah garapan bagi para petani.“ “Kami sudah mencoba melakukannya,“ berkata Agung Sedayu, “memperluas tanah garapan. Tetapi kami harus memperhitungkan luas hutan yang harus tersisa. Sementara itu, kami pun telah mencoba untuk menanami lereng-lereng pegunungan gundul dengan jenis-jenis tanaman yang kami anggap sesuai.“ “Aku melihat hasilnya,“ berkata Kiai Gringsing, “memang tidak akan dapat dilihat dengan cepat. Tetapi perkembangannya sudah nampak.“ “Terima kasih Guru,“ jawab Agung Sedayu, “kami di sini akan berusaha lebih baik lagi.“ “Tetapi memang ada bedanya, bukan saja sasaran garapan,“ berkata Swandaru, “tetapi sumber penggerak itu sendiri. Aku tentu merasa bertanggung jawab mutlak atas perkembangan Kademangan Sangkal Putung. Agak berbeda dengan Kakang Agung Sedayu di sini.“ Terasa telinga Agung Sedayu memang menjadi panas. Tetapi seperti biasanya ia selalu mencoba untuk mengendalikan dirinya. Namun ternyata Sekar Mirah-lah yang menyahut, “Apakah Kakang Swandaru mengira bahwa Kakang Agung Sedayu tidak bersungguh-sungguh?“ “Bukan begitu,“ jawab Swandaru, “tetapi perbedaan kedudukan antara aku dan Kakang Agung Sedayu tentu berpengaruh. Aku dapat bertindak langsung sesuai dengan penalaranku tanpa harus berbicara dengan siapapun, karena Ayah sudah memberikan wewenang itu. Tetapi Kakang Agung Sedayu tidak.“ Wajah Sekar Mirah menjadi merah. Tetapi sebelum ia menjawab, Kiai Gringsing telah menengahi, “Yang dikatakan oleh Swandaru adalah sekedar tentang wewenang yang ada di tangan Swandaru dan Agung Sedayu. Namun tanggung jawab dan kemauan bekerja memang harus dibedakan. Tetapi sudahlah, kita dapat berbicara tentang banyak hal yang lebih berarti daripada wewenang. Nanti malam aku akan tidur di rumah ini. Dengan demikian kita akan sempat berbicara seberapa panjang kita akan berbicara, tentang sebuah perguruan kecil yang tidak berarti apa-apa di dunia olah kanuragan ini.“ Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Ia merasa bahwa setiap kali gurunya telah membantu Agung Sedayu, justru pada saat-saat ia ingin mendorong agar kakak seperguruannya itu menyadari kelemahannya sendiri. Namun Swandaru kemudian tidak memaksakan pembicaraan apapun lagi. Yang kemudian ditanyakan oleh Kiai Gringsing adalah justru kapan mereka akan kembali. “Bukankah kita akan kembali tidak lebih dari besok?“ jawab Swandaru yang masih merasakan sesuatu yang bergejolak di dalam hatinya, “Meskipun seandainya besok siang sekalipun, karena kita tidak terikat untuk berangkat pagi hari.“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Besok kita akan berangkat setelah matahari turun. Kita tidak akan menjadi silau karena kita akan membelakangi matahari.“ Dalam pada itu, maka seperti yang telah dijanjikan, telah memasuki halaman rumah itu Ki Waskita dan Ki Jayaraga. Dengan tergesa-gesa Agung Sedayu telah menyongsongnya dan mempersilahkan mereka duduk di pendapa. Sementara Sekar Mirah mohon diri untuk pergi ke dapur. Untuk beberapa saat lamanya mereka berbincang-bincang. Mereka sempat mengenang masa muda mereka masing-masing. Kiai Gringsing dan Ki Waskita menjelang hari-hari tuanya banyak berhubungan dan bekerja bersama, sehingga mereka sempat bercerita tantang masa-masa itu. Ki Jayaraga yang hadir terakhir di Tanah Perdikan itu hanya dapat mendengarkan. Sekali-sekali ikut tertawa jika terjadi hal-hal yang lucu. Namun kadang-kadang keningnya ikut berkerut jika kedua orang tua itu bercerita tentang ketegangan-ketegangan yang terjadi. Namun sejenak kemudian Sekar Mirah telah menghidangkan minuman dan makanan bagi tamu-tamunya. Tetapi orang-orang tua yang ada di pendapa itu menghindar ketika mereka dipersilahkan untuk makan, karena mereka tahu, Sekar Mirah sudah menyediakan makan bagi mereka di rumah Ki Gede. “Aku ada di sini sekarang,“ berkata Sekar Mirah. Tetapi Ki Waskita menyahut, “Meskipun kau di sini, tetapi kau tentu sudah meninggalkan pesan. Nanti Ki Gede kecewa jika kami tidak bersedia menemaninya makan. Bahkan dengan Ki Jayaraga.“ Karena itulah, maka lewat tengah hari, Ki Waskita telah minta diri untuk kembali ke rumah Ki Gede. Bahkan bersama Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga. Yang tinggal di rumah Agung Sedayu adalah Swandaru, sehingga yang kemudian mendapat suguhan makan dengan kendo udang adalah Swandaru. Sementara itu para pengawalnya telah mendapat kiriman makan satu jodang dari rumah Ki Gede. Tetapi Sekar Mirah sendiri tetap berada di rumahnya untuk mengawani suami dan kakaknya makan siang. Setelah makan, Swandaru memang benar-benar ingin beristirahat. Tetapi ia tidak mau beristirahat di ruang dalam. Ia memilih di gandok bersama dengan para pengawalnya. “Silahkan beristirahat Kakang,“ berkata Sekar Mirah, “aku akan kembali ke rumah Ki Gede. Sekedar menunggui perempuan-perempuan yang masih sibuk. Kakang Agung Sedayu akan berada di rumah sampai sore. Kecuali jika Ki Gede memanggilnya.“ “Silahkan,“ berkata Swandaru, “juga Kakang Agung Sedayu jika mempunyai tugas, tinggalkan saja aku di sini. Aku memang ingin beristirahat di antara orang-orangku.“ Tetapi Agung Sedayu pun berkata, “Aku juga akan beristirahat di rumah.“ Dengan demikian, maka hanya Sekar Mirah sajalah yang pergi ke rumah Ki Gede untuk melakukan tugasnya. Bersama-sama dengan perempuan-perempuan di padukuhan induk menyiapkan makan bagi para pengawal yang bertugas tersebar di seluruh Tanah Perdikan. Dalam pada itu, kehidupan di Tanah Perdikan Menoreh telah mulai menjadi tenang. Anak-anak telah bermain kembali di halaman, sementara yang telah mengungsi dari satu padukuhan ke padukuhan lain pun telah kembali. Meskipun pasar masih tetap sepi, namun di jalan-jalan mulai nampak orang berjalan dari satu rumah ke rumah yang lain. Namun demikian, di bulak-bulak panjang, para pengawal masih saja hilir mudik mengamati keadaan. Bukan saja para pengawal berkuda, tetapi para petugas sandi pun berkeliaran di daerah perbatasan. Beberapa kademangan di sekitar Tanah Perdikan yang ikut terguncang karena peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan itu pun telah menjadi tenang pula. Ki Gede telah mengirimkan beberapa orang bebahu untuk menghubungi kademangan-kademangan itu, memberikan penjelasan apa yang sebenarnya terjadi di Tanah Perdikan. Kepada kademangan yang mengalami kerugian karena peristiwa itu, Ki Gede bersedia untuk memberikan bantuan sekedarnya. Tetapi kademangan-kademangan itu menolak. Mereka menganggap bahwa Tanah Perdikan sama sekali tidak bersalah. “Tanah Perdikan sendiri mengalami kerugian yang besar. Sawah yang terinjak-injak, bangunan yang rusak dan kehidupan yang terguncang. Yang sulit dinilai adalah jatuhnya beberapa orang korban di antara anak-anak terbaik dari Tanah Perdikan itu,“ berkata para pemimpin kademangan itu. Bahkan bagi mereka, Tanah Perdikan itu akan dapat menjadi tempat untuk bernaung jika terjadi sesuatu di kademangan mereka masing-masing. Di sore hari, ketika matahari telah menjadi rendah, Swandaru telah mengajak Agung Sedayu untuk melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan itu. Berkuda keduanya berkunjung dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain. Ternyata masih banyak yang dapat langsung mengenali Swandaru, meskipun di antara mereka sudah lama tidak bertemu. Dalam kesempatan itu Swandaru telah melihat-lihat pula usaha Tanah Perdikan untuk menghutankan tanah yang semula gundul di lereng-lereng pegunungan. Usaha untuk mengatasi lereng yang sering longsor, turun menimpa padukuhan-padukuhan di musim hujan. Usaha Agung Sedayu dan anak-anak muda Tanah Perdikan untuk membuat sawah bertingkat di tanah miring, namun yang dapat diairi dari daerah perbukitan, serta daerah rumput yang tersebar untuk memberikan tempat para gembala menggembalakan ternak mereka. Meskipun tidak dikatakan, ternyata Swandaru telah melihat langsung kemajuan di Tanah Perdikan yang dianggapnya lamban itu. Menjelang senja, maka keduanya telah kembali ke rumah Agung Sedayu. Ternyata beberapa saat kemudian, ketika langit mulai gelap, Kiai Gringsing pun telah datang pula bersama Ki Jayaraga. “Apakah Ki Waskita tidak datang pula?“ bertanya Agung Sedayu. “Ki Waskita mengawani Ki Gede berbincang,“ jawab Ki Jayaraga. Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Sementara itu Glagah Putih dan Sekar Mirah telah berada di rumah itu pula. Seperti yang direncanakan oleh Kiai Gringsing, maka setelah minum minuman hangat dan makan beberapa potong makanan, maka Kiai Gringsing pun berkata, “Marilah, kita pergunakan kesempatan ini untuk berbincang-bincang. Khusus tentang perguruan kecil kita. Sudah tentu jika kita menyebut perguruan kecil kita, bukan berarti sebuah padepokan kecil di Jati Anom. Itu hanya ujud lahiriah dari sebuah perguruan.“ Ki Jayaraga yang menyadari kedudukannya telah berkata, “Silahkan. Nampaknya kalian memerlukan tempat tersendiri. Mungkin kalian dapat berbicara di sanggar, sehingga tidak akan diganggu oleh orang lain.” Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Terima kasih Ki Jayaraga. Aku kira tempat itu cukup baik untuk berbicara secara khusus.“ “Marilah Guru,“ berkata Agung Sedayu, “kita pergi ke sanggar. Biarlah Glagah Putih mempersiapkan tempat, dan barangkali perlu lampu yang lebih terang.“ “Untuk apa?“ Kiai Gringsing justru bertanya, “Jika sudah ada lampunya, meskipun tidak terlalu terang, aku kira tidak menjadi soal.“ Tetapi ternyata bahwa Glagah Putih selain membersihkan sanggar, khususnya yang akan dipergunakan untuk duduk berbincang, juga telah menyalakan lagi lampu yang lebih terang dari yang sudah terpasang. Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, Kiai Gringsing dan kedua orang muridnya telah berada di dalam sanggar. Mereka memang ingin berbicara secara khusus, karena kesempatan untuk bertemu semakin lama ternyata menjadi semakin jarang. “Kita hanya memanfaatkan waktu,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “tidak ada bahan pembicaraan khusus yang ingin aku sampaikan kepada kalian.“ “Guru,“ Swandaru-lah yang menyahut, “aku justru ingin mengusulkan, dalam kesempatan ini sebaiknya kami, murid-murid Guru, mengadakan perbandingan ilmu. Dengan demikian Guru masih mempunyai kesempatan untuk memberikan petunjuk dan arah kepada kami untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah kami perbuat.“ Agung Sedayu memang menjadi berdebar-debar. Setiap kali ia memasuki sebuah pembicaraan tentang ilmu, maka ia telah menjadi gelisah. Namun Kiai Gringsing yang telah menjawab, “Aku tidak akan dengan tergesa-gesa sampai ke sana. Sebenarnya, sebagai Guru, aku telah mengetahui tataran ilmu kalian masing-masing. Aku tahu pasti perbandingan ilmu di antara kalian, meskipun kalian tidak menunjukkan kepadaku dengan cara apapun juga. Karena perbandingan ilmu dengan cara yang dapat kita lakukan di sini tentu bukan batas kemampuan ilmu yang sebenarnya, karena masing-masing masih harus menahan diri dan menjaga agar yang lain tidak mengalami cedera. Namun berbeda dengan aku, aku telah melihat bagaimana Agung Sedayu bertempur di medan perang dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Aku pun pernah melihat Swandaru memperagakan kemampuannya dengan menunjukkan batas-batas tingkat ilmunya.“ Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, Kiai Gringsing telah berkata, “Yang ingin aku katakan kepada kalian pada kesempatan ini adalah justru hasil pengamatanku itu.“ Agung Sedayu memang menjadi semakin berdebar-debar. Namun Swandaru telah mendesak, “Kami memang sangat menunggu Guru.“ “Aku melihat kalian berada di simpang jalan,“ berkata Kiai Gringsing, “kalian telah menempuh pilihan yang berbeda dalam meningkatkan ilmu kalian. Agung Sedayu ternyata tidak mengikuti satu jenis ilmu. Tetapi ia merambah ke berbagai jenis ilmu, sehingga dengan demikian Agung Sedayu menguasai beberapa jenis ilmu yang ujud pengungkapannya berbeda-beda. Tetapi Swandaru telah menekuni satu jenis ilmu. Ilmu yang memang menjadi ciri perguruan yang menganut aliran Orang Bercambuk. Karena itu, maka Swandaru mampu menunjukkan kemampuan ilmu cambuk dengan sangat mengagumkan.“ “Guru,“ Swandaru memotong, “manakah yang lebih baik menurut Guru?“ “Aku tidak dapat mengatakan mana yang lebih baik, karena ternyata masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya,“ berkata Kiai Gringsing, “namun satu kenyataan, bahwa di dunia olah kanuragan telah terdapat berbagai macam ilmu yang berbeda-beda menurut aliran masing-masing. Bermacam-macam ilmu itu harus mendapat tanggapan dengan cara yang berbeda-beda pula.“ “Jadi menurut Guru, cara yang ditempuh Kakang Agung Sedayu itu lebih baik, meskipun hanya sepotong-sepotong dari berbagai jenis ilmu?“ bertanya Swandaru. “Bukan begitu,“ berkata Kiai Gringsing, “aku ingin menganjurkan kepada kalian berdua. Dengar. Kewajiban kalian hanya mendengar. Aku adalah guru kalian.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak. Ternyata dalam usianya yang tua itu, ia masih dapat bersikap mantap. Kedua murid Kiai Gringsing itu saling berpandangan sejenak. Namun seperti yang dikatakan oleh gurunya, mereka hanya dapat mendengarkan. Sejenak Kiai Gringsing terdiam. Dipandanginya kedua orang muridnya berganti-ganti, sehingga keduanya pun kemudian telah menundukkan kepalanya. “Anak-anakku,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “aku tidak mengatakan bahwa cara yang kalian tempuh yang satu lebih baik dari yang lain. Tetapi aku ingin mengatakan, bahwa kedua-duanya mempunyai kelemahan. Swandaru yang hanya mengenal satu jenis ilmu betapapun tinggi pemahamannya, bahkan seandainya sudah sampai ke inti ilmu cambuk itu, namun masih terdapat kelemahan. Tanpa mengenal jenis ilmu yang lain, maka Swandaru kurang memiliki bekal apabila ia benar-benar terjun ke dunia olah kanuragan. Untuk menanggapi berbagai jenis ilmu, maka Swandaru pun harus memiliki berbagai jenis bekal yang cukup. Kemudian dengan puncak ilmu cambuknya maka Swandaru akan mendapat kesempatan mengakhiri perlawanan lawan-lawannya. Tetapi tanpa mengenal ilmu yang lain, maka kau akan menjadi sangat miskin menghadapi dunia dalam segala bantuknya. Kau akan tampil dengan bekal yang itu-itu juga, sehingga setiap orang akan mengenalinya, dan dengan mudah membaca kelemahan-kelemahanmu. Sebaliknya, dengan mempelajari seribu jenis ilmu sekalipun, jika semuanya hanya mengambang tanpa kedalaman, maka hal itu pun tidak berarti sama sekali. Dalam benturan ilmu, maka betapapun banyaknya ilmu yang ditampilkan, namun semuanya akan dapat ditembus lawan dengan mudah. Bahkan dalam saat-saat yang menentukan, ia tidak akan memiliki alat pemukul yang mematikan.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu katanya, “Karena itu, aku ingin mengatakan kepadamu Swandaru, jangan terlalu yakin akan ilmu cambukmu. Kau harus berusaha untuk melengkapinya dengan jenis-jenis ilmu yang lain, yang dapat kau pelajari dari kitab yang pernah aku berikan kepada kalian berdua. Jangan hanya melihat ke permukaan dari setiap persoalan yang dikemukakan di dalam kitab itu. Tetapi kau harus menyusup ke kedalamannya. Apalagi ilmu cambuk yang kau jadikan puncak ilmu yang kau miliki. Terus terang, bahwa kau masih saja terbatas pada unsur kewadagan. Kau memang sudah memasuki laku untuk menyusup ke kedalaman, tetapi baru pada mulanya. Kau harus mempelajarinya lagi, kau harus menjalani laku yang barangkali cukup berat untuk mencapai inti ilmu cambukmu. Di samping itu, kau harus mengenali jenis-jenis ilmu yang lain, untuk menanggapi keanekaan dunia olah kanuragan.“ Sekali lagi Kiai Gringsing berhenti sejenak. Lalu katanya lagi, “Dan kau Agung Sedayu. Kau tidak boleh sekedar bergerak mendatar. Menjelajahi jenis-jenis ilmu yang luas, tetapi tanpa memilih satu di antaranya. Akan lebih baik jika kau dalami ciri perguruan kita, ilmu cambuk. Kau pun harus menjalani laku, sehingga kau akan memperoleh kedalaman ilmu yang sangat kau perlukan. Bahkan sekaligus ciri dari sebuah perguruan.“ Ketika kemudian Kiai Gringsing berhenti lagi berbicara, maka Agung Sedayu dan Swandaru menjadi termangu-mangu. Tetapi mereka belum berani mengatakan sesuatu. Mereka masih menunggu Kiai Gringsing meneruskan. Sebenarnyalah Kiai Gringsing berkata, “Aku masih mempunyai waktu sedikit. Seandainya aku tidak dapat melihat kalian sampai batas sebagaimana yang aku katakan, tetapi aku ingin melihat kalian mulai menjalani laku itu. Apapun alasan kalian, tetapi aku minta kalian melakukannya. Kecuali jika kalian tidak lagi menganggap aku sebagai seorang guru. Aku tidak dapat membiarkan kalian seperti sekarang ini, menuruti pilihan kalian sendiri. Tetapi pada saat-saat terakhir dari hidupku, aku dibebani kewajiban untuk memberikan penilaian atas kalian.“ Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil, sementara Swandaru menjadi gelisah. “Nah,“ berkata Kiai Gringsing, “sekarang, siapa di antara kalian yang akan bertanya, bertanyalah.“ “Guru,“ Swandaru-lah yang bertanya untuk pertama kali, “apakah menurut Guru, ilmu cambukku masih terlampau dangkal?“ “Ya,“ jawab Kiai Gringsing tegas. “Seandainya tidak terlalu dangkal, maka ilmumu masih terbatas pada permukaan. Pada ujud dan kekuatan kewadagan. Kau akan tahu itu jika kau berulang kali mempelajari kitab itu. Kau terlalu puas dengan pencapaianmu, sehingga nampaknya kitab itu tidak berarti bagimu.“ Wajah Swandaru menjadi merah. Tetapi ia berhadapan dengan gurunya, sehingga bagaimanapun juga ia harus menahan diri. Sementara itu Kiai Gringsing berkata, “Aku minta kau memasuki tingkat berikutnya, khusus dalam ilmu cambuk. Kemudian jenis-jenis ilmu yang lain yang barangkali penting kau pelajari. Kau tidak usah mendalami jenis ilmu yang lain sebagaimana ilmu cambuk. Tetapi kau perlu mengenali kekuatan alam yang dapat kau sadap. Sudah tentu bukan lewat kekuatan kewadagan. Tetapi getaran dari inti kekuatan itulah yang kau serap di dalam dirimu.“ Swandaru mengerutkan keningnya. Sejak semula ia tidak tertarik kepada persoalan-persoalan yang rumit seperti itu. Namun ternyata gurunya bukan saja menyarankan, tetapi rasa-rasanya yang dikatakan itu adalah perintah. Apalagi ketika Kiai Gringsing berkata, “Lakukanlah sebaik-baiknya. Jika kau gagal, maka kau adalah muridku yang gagal pula.“ Swandaru tidak mengira bahwa gurunya akan berkata sekeras itu. Selama ini ia sudah sangat berbangga dengan ilmunya. Namun ternyata gurunya merasa sangat kecewa. Tetapi kemudian Kiai Gringsing berkata pula, “Dan kau Agung Sedayu. Banyak hal yang harus kau perhatikan.“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Kiai Gringsing berkata selanjutnya, “Kau tidak perlu merambah puluhan jenis-jenis ilmu. Tetapi kau harus mempunyai satu kekuatan yang akan dapat diandalkan untuk menyelesaikan persoalan. Seperti aku katakan, kau harus meletakkan ciri perguruanmu di atas segala macam ilmu yang kau kuasai. Seperti Swandaru, maka kau harus mempelajari tingkat-tingkat selanjutnya, sesuai dengan tataran yang tertulis di dalam kitab yang aku tinggalkan bagi kalian berdua.“ Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam. Dalam pada itu, Kiai Gringsing masih berkata selanjutnya, “Dalam waktu dekat kalian tidak perlu mengadakan perbandingan ilmu. Dunia kanuragan akan mengatakan kepada kalian, sampai di tingkat yang manakah kalian berdiri pada suatu saat. Tetapi aku tidak bermaksud memerintahkan kalian menjadi pengembara, apalagi petualang, untuk mencoba-coba kemampuan ilmu kalian. Justru kalian harus menjauhi kemungkinan benturan kekerasan. Hanya dalam keadaan terpaksa kalian mempergunakan kekerasan. Karena sebenarnyalah kekerasan bukan alat yang terbaik untuk menyelesaikan masalah. Tetapi dalam keadaan terpaksa, kemampuan ilmu yang kalian miliki akan dapat kalian pergunakan untuk melawan segala bentuk kejahatan serta sikap yang bertentangan dengan kebenaran dan keadilan.“ Kiai Gringsing’berhenti sejenak. Kemudian katanya, “Nah, dalam langkah-langkah yang akan kalian tempuh, kalian harus selalu mendekatkan diri kepada Sumber Hidup kalian. Mohon petunjuk-Nya, serta dengan tulus percaya bahwa hanya kehendak-Nya sajalah yang akan terjadi, karena sebenarnyalah apa yang datang dari pada-Nya adalah baik adanya.“ Kedua orang murid Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk kecil. Betapapun sakit hati Swandaru, tetapi ia merasa bahwa peringatan gurunya tidak semata-mata ditujukan kepadanya, tetapi juga kepada Agung Sedayu. Gurunya memang cukup bersikap keras terhadapnya dan terhadap Agung Sedayu. Ternyata Kiai Gringsing itu masih berkata pula, “Anak-anakku. Kau harus menyadari, bahwa umurku tentu tidak akan panjang lagi. Bahkan berarti aku mendahului kepastian Yang Maha Agung, tetapi justru aku menyadari. bahwa tidak ada arah lain dari setiap kehidupan daripada dipanggil kembali oleh Penciptanya. Karena itu, dalam kesempatan yang sempit ini, aku akan selalu melihat perkembangan kalian. Apakah kalian melakukan perintahku atau tidak. Aku tidak akan memberikan hukuman apapun bagi kalian jika kalian mengingkari perintahku. Tetapi kalian tentu akan menyesali langkah kalian itu.“ Agung Sedayu dan Swandaru hanya mengangguk-angguk saja. Agaknya tidak ada lagi yang dapat mereka kemukakan kepada guru mereka, apalagi menilik kata-kata-nya, guru mereka itu sedang bersikap agak lain dari sikapnya sehari-hari. Kiai Gringsing nampak sebagai seorang guru yang kecewa melihat perkembangan ilmu murid-muridnya. Justru pada saat umurnya yang sudah terlalu tua. Namun sejenak kemudian Kiai Gringsing itu pun berkata, “Agaknya tidak ada lagi yang akan aku katakan. Tidak ada pula persoalan yang dapat kalian kemukakan. Aku hanya minta kalian lakukan perintahku kali ini, menjelang hari-hariku terakhir.“ Agung Sedayu dan Swandaru memang tidak dapat mengatakan sesuatu selain menundukkan kepalanya. Namun dalam pada itu, Swandaru berkata kepada dirinya sendiri, “Aku hanya tinggal melangkah satu langkah lagi. Aku harus mempelajari dan menempuh laku tingkat berikutnya ilmu cambuk yang tertulis dalam kitab Guru. Tetapi kakang Agung Sedayu tentu masih harus mempelajarinya lebih banyak. Dua atau tiga tataran, khususnya ilmu cambuk. Nampaknya perintah guru kali ini akan benar-benar dijalani oleh Kakang Agung Sedayu.“ Tetapi sementara itu dahi Swandaru pun telah berkerut ketika ia teringat pesan gurunya untuk mempelajari pula, meskipun hanya pada tingkat permulaan, beberapa jenis ilmu yang lain, untuk menghadapi seribu macam jenis dan bentuk ilmu kanuragan yang mungkin akan dijumpainya. “Tetapi itu pun perintah.“ Namun katanya kepada diri sendiri, “Tetapi tidak terlalu mengikat seperti perintah Guru, ciri ilmu perguruan ini.“ Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Aku kira pertemuan kita sudah cukup. Namun marilah, kita mencoba untuk menyatukan diri dalam ungkapan pernafasan sesuai dengan landasan ilmu dari perguruan kita. Apakah kita masih tetap satu, atau ternyata kita sudah menempuh jalan kita masing-masing.“ Kedua murid Kiai Gringsing itu tidak menjawab. Namun mereka pun kemudian telah bangkit berdiri. Kiai Gringsing-lah yang kemudian melangkah lebih dahulu ke tengah-tengah sanggar itu. Kemudian duduk bersila. Sementara Agung Sedayu dan Swandaru telah melakukan hal yang sama di belakangnya. Perlahan-lahan tangan ketiga orang itu bergerak. Kedua tangan mereka telah terjulur lurus sejajar ke depan dengan telapak tangan menghadap ke dalam. Kemudian perlahan-lahan pula tangan itu bergerak. Telapak tangan mereka kemudian menelungkup menghadap ke bawah. Kemudian dengan cepat gerakan-gerakan mereka bertumpu pada siku mereka. Kedua tangan mereka telah melakukan unsur-unsur gerak sesuai dengan ajaran aliran ilmu mereka, sehingga akhirnya kedua tangan mereka terangkat di muka dada. Kedua telapak tangannya berada dalam satu susun yang berhadapan. Satu menghadap ke atas dan yang lain ke bawah. Kemudian perlahan-lahan sekali tangan itu bergerak. Tangan kiri melekat di lambung kanan, sedang tangan kanan terletak di pundak sebelah kiri. Ketiga orang itu terdiam beberapa saat. Nafas mereka berjalan teratur melalui lubang hidung mereka. Baru beberapa saat kemudian, tangan mereka telah terurai. Kemudian kedua telapak tangan mereka menelakup di depan dada. Menurun ke bawah, kemudian terlepas. Ketiga orang itu menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya tubuh mereka menjadi semakin segar. Darah di urat-urat nadi mereka rasa-rasanya berjalan semakin lancar. “Kita sudah selesai,“ berkata Kiai Gringsing, “kita akan kembali ke pendapa. Namun aku masih akan sedikit berpesan. Lihat berkali-kali cara mengatur pernafasan ini. Lihat pula serba sedikit tentang usaha pengobatan dengan getaran ilmu yang pernah kita pelajari, dan lihat pula ilmu pengobatan dengan berbagai macam cara, dalam hubungannya dengan pengetahuan simpul-simpul syaraf dan jalur-jalur urat nadi. Membekukan kerja simpul-simpul syaraf dan melepaskannya kembali, serta cara pengobatan dengan wajar. Maksudnya dengan obat-obatan yang dapat kalian pelajari pula pada kitab itu. Nah, dengan demikian kalian dapat mengetahui, bahwa kitab yang aku berikan kepadamu berisi berbagai macam hal yang sangat berarti bagi kalian. Kitab itu adalah satu rangkaian dari beberapa macam ilmu yang saling berhubungan dan bersusun dengan alas ilmu yang sama. Karena itu, maka kitab itu sangat berharga. Kitab itu tidak boleh jatuh ke tangan orang-orang yang tidak berhak, karena dengan demikian mereka akan dapat menyalah-gunakannya.“ Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-angguk. Mereka mengerti nilai dari kitab itu, karena sejak semula mereka telah mengerti isinya. Tidak sekedar sejenis ilmu sebagaimana tercantum dalam beberapa macam kitab yang lain. Tetapi kitab yang mereka terima dari Kiai Gringsing adalah ujud lengkap dari perguruan mereka seutuhnya. Sebagaimana dikatakan oleh Kiai Gringsing, tidak akan ada orang yang mampu menguasai semua jenis ilmu yang tercantum di dalam kitab itu. Tetapi murid-murid Kiai Gringsing diperintahkan untuk menyadap isi kitab itu sebanyak-banyaknya, dan yang terpenting sedalam-dalamnya. Bukan sekedar mendatar, sebagaimana telah dikatakannya. Demikianlah, maka sejenak kemudian Kiai Gringsing itu pun telah melangkah keluar. Sementara itu, Swandaru yang berjalan di sebelah Agung Sedayu berkata, “Besok kitab itu akan aku bawa. Kitab itu sudah terlalu lama ada di sini.“ Agung Sedayu memang sudah mengira bahwa setelah mereka mendengarkan pesan gurunya, maka Swandaru akan dengan segera memerlukan kitab itu. Tetapi Agung Sedayu tidak keberatan. Ada atau tidak ada kitab itu di rumahnya, maka ia akan dapat mempelajarinya, sebagaimana dipesankan oleh gurunya. Namun demikian, sebelum menyerahkan kepada Swandaru. Agung Sedayu masih berniat untuk membacanya sekali lagi, agar isi kitab itu terpahat semakin dalam di dinding jantungnya, serta untuk menyegarkan kembali ingatannya atas isi kitab itu. Terutama pada bab-bab yang memang menarik baginya atau memang sudah mulai dirambahnya. Dan seperti pesan gurunya, tingkat-tingkat terakhir dari ilmu cambuknya. Demikianlah, maka mereka pun kemudian telah berada di pendapa kembali. Ternyata mereka memerlukan waktu cukup lama. Malam sudah menjadi semakin malam. Tetapi Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sekar Mirah masih menunggu dan kemudian menemani mereka duduk di pendapa. Namun mereka sama sekali tidak mempertanyakan tentang pertemuan khusus antara guru dan kedua muridnya itu. Bahkan setelah minum beberapa teguk dan makan beberapa potong makanan, maka Agung Sedayu pun mempersilahkan gurunya untuk beristirahat. Demikian Kiai Gringsing masuk ke dalam bilik yang disediakan untuknya, maka Swandaru pun telah pergi ke gandok pula. Ia sengaja berada di antara para pengawalnya. Rasa-rasanya Swandaru berada di kademangannya, di antara para pengawal kademangan yang sedang meronda. Ketika Glagah Putih sempat pergi ke belakang, dilihatnya pembantu rumahnya tidak berada di dalam biliknya, di sebelah dapur. Tetapi anak itu tidur di serambi berkerudung kain panjang. Di sebelahnya terletak kepis yang sudah dipersiapkan untuk turun ke sungai, serta cangkul dan parang. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Agaknya anak itu tertidur ketika ia menunggu tengah malam. Nampaknya anak itu hanya akan turun ke sungai sekali saja. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Tetapi ia menjadi iba kepada anak itu. Anak yang menurut pendapatnya sangat tekun. Nampaknya ia masih belum jemu dengan pliridannya. Sementara itu kawan-kawannya yang lain sudah berganti orang. Mungkin adiknya, mungkin sepupunya, atau mungkin orang lain lagi yang meneruskan memelihara pliridan itu. Karena itu, maka Glagah Putih telah mengambil alat-alat itu dan pergi ke sungai tanpa membangunkannya. Ketika ia turun ke sungai dan memasang icir serta menutup pliridannya, ternyata seorang yang sebaya dengan umurnya masih juga turun ke sungai bersama dua orang adiknya. “Kau masih sempat juga menutup pliridan?“ bertanya anak muda itu, “Dimana anak yang sering melakukannya itu?“ “Tertidur. Nampaknya ia letih sekali,“ jawab Glagah Putih. Namun Glagah Putih pun bertanya pula, “Dan kalian juga memerlukan turun ke sungai?“ “Untuk melepaskan ketegangan,“ jawab anak muda itu, “selama ini urat-urat di kepalaku serasa menjadi kencang. Dengan turun ke sungai, berendam di air yang dingin sambil menutup pliridan, rasa-rasanya semuanya menjadi kendor kembali.“ Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Terasa bukan saja tubuh. Tetapi perasaan pun menjadi sejuk.“ Namun ketika anak-anak muda itu meninggalkannya, Glagah Putih terkejut. Anak yang tertidur itu agaknya telah terbangun. Karena ia kehilangan alat-alatnya, maka ia telah melihat ke sungai. “Kau akan menutup pliridanku sendirian tanpa aku?“ bertanya anak itu. “Kau tertidur,“ jawab Glagah Putih. “Aku yang membuka pliridan ini. Seenaknya kau menutupnya tanpa minta ijin kepadaku,“ geram anak itu. “Aku kasihan melihatmu tertidur. Nampaknya nyenyak sekali. Barangkali kau sangat letih, sehingga aku mencoba membantumu,“ jawab Glagah Putih. “Kau bohong. Besok kau tentu bercerita, bahwa kau-lah yang telah mendapat ikan dari pliridan ini,“ sahut anak itu. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian berkata sambil tersenyum, “Tidak. Besok aku akan bercerita kepada semua orang bahwa bukan aku yang mendapatkan ikan dari pliridan ini.“ Anak itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun telah melihat cara Glagah Putih memasang icir. Sambil bersungut ia berkata, “Kau pasang icir terlalu tinggi. Tentu banyak ikan yang tidak masuk ke dalamnya.“ Glagah Putih hanya tersenyum saja. Tetapi ia tidak menjawab sama sekali. Sementara itu, di dalam biliknya, Agung Sedayu menekuni kitab yang diberikan oleh gurunya. Besok kitab itu akan dibawa oleh Swandaru ke Sangkal Putung. “Sudah jauh lewat tengah malam Kakang,“ Sekar Mirah memperingatkan. Namun Agung Sedayu menjawab, “Aku ingin menyegarkan kembali ingatanku tentang isi kitab ini Mirah. Jika besok kitab ini dibawa ke Sangkal Putung. aku tidak akan merasa kehilangan sumber ilmu yang dikehendaki oleh Guru. Perintah Guru sudah tegas, bahwa baik ilmuku maupun ilmu Adi Swandaru harus ditingkatkan.“ Sekar Mirah yang telah berbaring di pembaringan itu pun telah bangkit dan mendekati Agung Sedayu. Ia telah mendengar serba sedikit dari Agung Sedayu apa yang telah dikatakan oleh Kiai Gringsing. Karena itu, maka Sekar Mirah itu pun berkata, “Kakang. Aku kira sebagian besar dari kata-kata Kiai Gringsing itu ditujukan kepada Kakang Swandaru. Sebagaimana kau ketahui bahwa Kakang Swandaru masih jauh ketinggalan dari Kakang Agung Sedayu. Agaknya Kiai Gringsing pun kurang terbuka. Kakang Agung Sedayu sejak semula sudah mempunyai sifat tertutup. Kebetulan Guru Kakang pun mempunyai sifat yang mirip dengan sifat Kakang, sehingga rasa-rasanya Kakang pun menjadi semakin tertutup pula. Aku yang mencoba untuk mengatakan apa yang sebenarnya, Kakang Swandaru tidak pernah mempercayaiku, karena aku adalah istrimu, yang dianggap terlalu mengagumi suaminya. Tetapi dengan demikian anggapan Kakang Swandaru terhadap Kakang Agung Sedayu tidak berubah.“ “Sebenarnya aku sendiri tidak berkeberatan,“ berkata Agung Sedayu. “Mungkin Kakang tidak berkeberatan. Tetapi bukankah hal itu telah menyesatkan Kakang Swandaru? Sehingga jika pada suatu saat ia berhadapan dengan satu kenyataan, maka dapat terjadi dua kemungkinan. Ia akan menutup kekurangannya, atau hatinya menjadi patah sama sekali.“ “Jika Adi Swandaru menjalani perintah Guru kali ini, maka persoalannya akan lain. Adi Swandaru akan benar-benar mampu meningkatkan ilmunya. Sebenarnya ia masih mempunyai peluang yang sangat luas. Ia masih muda dan bekalnya pun telah cukup. Ia menguasai ilmu dasar dengan sangat baik. Khususnya ilmu cambuk,“ jawab Agung Sedayu. “Dan sekarang Kakang yang semalam suntuk tidak tidur. Jika Kakang meningkat semakin pesat, bagaimana Kakang Swandaru akan dapat menyusul Kakang? Tetapi bukan maksudku menghambat Kakang Agung Sedayu. Aku akan lebih senang jika kemampuan Kakang Agung Sedayu meningkat sampai ke tataran tidak terbatas. Yang penting bukan memaksa Kakang Swandaru untuk mengejar ketinggalannya, yang sulit untuk dilakukan. Tetapi menyadarkan dimana sebenarnya ia berada, dibandingkan dengan Kakang Agung Sedayu.“ sahut Sekar Mirah. “Bukankah kau tahu sifat kakakmu itu?“ bertanya Agung Sedayu. Sekar Mirah mengangguk. Sementara Agung Sedayu berkata, “Aku mengakui bahwa aku kurang terbuka. Tetapi aku memang terlalu memperhitungkan sifat Swandaru. Agaknya demikian pula Guru, sehingga ia telah menempuh satu cara yang lain.“ “Dan sekarang Kakang-lah yang menekuni kitab itu. Kakang perlu beristirahat,“ berkata Sekar Mirah. Agung Sedayu tersenyum. Katanya kepada istrinya, “Tidurlah dahulu Mirah. Aku kurang sebentar.“ Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Meskipun suaminya mengerti maksud gurunya, tetapi ternyata bahwa iapun merasa telah dicambuk untuk meningkatkan ilmunya, khususnya ciri dari perguruannya, ilmu cambuk. Meskipun ilmu cambuknya sudah jauh lebih baik dari Swandaru yang terlalu membatasi diri pada kekuatan kewadagan. Sekar Mirah pun tahu benar sifat suaminya. Karena itu, maka iapun telah kembali ke pembaringan. Namun sudah barang tentu ia tidak dapat tertidur. Sekali-sekali ia masih saja memandangi Agung Sedayu yang duduk menekuni kitab Kiai Gringsing, yang esok pagi akan dibawa oleh Swandaru kembali ke Sangkal Putung. Namun Sekar Mirah pun berharap sebagaimana diharapkan oleh Agung Sedayu, bahwa Swandaru akan mengadakan waktu khusus untuk meningkatkan ilmunya, merambah ke tingkat berikutnya, sehingga ia tidak membatasi diri kepada unsur kewadagan semata-mata. Dalam pada itu, Agung Sedayu telah membaca kembali bagian-bagian terpenting dari isi kitab itu. Terutama bagian-bagian yang harus didalami sebagai bagian tertinggi dari ilmu cambuknya. Ciri dari kekuatan raksasa dari perguruannya, perguruan Orang Bercambuk. Tetapi sebagaimana telah diketahui oleh gurunya, ternyata Agung Sedayu telah mendapatkan beberapa bagian ilmu yang tidak diwarisinya dari perguruannya. Kiai Gringsing memang tidak berkeberatan sama sekali. Justru ilmu yang didapatnya semasa Agung Sedayu masih sering mengembara dan berkeliaran bersama Raden Sutawijaya atau Pangeran Benawa menyusuri tempat-tempat yang dapat dipergunakannya untuk menjalani laku serta latihan-latihan yang berat. Namun Agung Sedayu pun percaya, jika seseorang mampu menguasai beberapa jenis ilmu dari kitab Kiai Gringsing dengan landasan ilmu dasar perguruan Orang Bercambuk itu, maka ia akan menjadi orang yang pilih tanding. Tetapi sementara itu, Agung Sedayu masih juga bertanya-tanya di dalam hatinya. Kenapa gurunya belum pernah memperlihatkan penguasaannya ilmu cambuk pada tataran tertinggi. Gurunya pernah bertempur dengan orang-orang berilmu sangat tinggi sehingga terluka. Namun ilmu yang dipergunakannya belum sampai pada tataran puncak ilmu cambuk, sebagaimana dapat dilihat dalam kitab itu. Padahal menurut perhitungan Agung Sedayu, gurunya tentu sudah menguasai kemampuan puncak dari ilmu cambuk itu sampai ke intinya. Namun Agung Sedayu pun menyadari, bahwa pada tingkat itu, ilmu cambuk itu akan sangat dahsyat. Dalam pada itu Agung Sedayu yang tenggelam dalam isi kitab Kiai Gringsing benar-benar tidak mengingat waktu. Agung Sedayu seakan-akan tidak mendengar ayam jantan yang berkokok sekali dan dua kali, la baru menyadari bahwa fajar hampir menyingsing ketika ayam jantan berkokok untuk yang ketiga kalinya. Agung Sedayu menggeliat. Ketika ia berpaling kepada Sekar Mirah, maka Sekar Mirah ternyata telah tertidur. Perlahan-lahan Agung Sedayu beringsut sambil menutup kitabnya. Diletakkannya kitabnya di sebelah bantalnya. Kemudian iapun telah berbaring pula, untuk memberikan kesan kepada Sekar Mirah bahwa iapun telah tidur pula. Namun sebenarnyalah bahwa sekejap pun Agung Sedayu tidak dapat tidur sampai menjelang matahari terbit. Ketika Sekar Mirah terbangun, maka iapun dengan serta merta telah bangkit. Tetapi ia menarik nafas dalam-dalam ketika ternyata Agung Sedayu telah berbaring pula di sampingnya. Sekar Mirah sama sekali tidak mengganggu Agung Sedayu yang disangkanya baru saja tertidur. Ia sendiri kemudian bangkit dan keluar dari dalam biliknya, menuju ke dapur. Sekar Mirah tidak membangunkan ketika ia melihat anak yang membantu di rumahnya masih saja tidur di serambi. Agaknya ketika ia kembali dari sungai bersama Glagah Putih, ia kembali tidur di serambi, berkerudung kain panjang. Tetapi tidak berselisih lama, maka Agung Sedayu pun telah bangun pula. Demikian pula Glagah Putih seperti biasanya. Sesaat kemudian Ki Jayaraga pun telah bangun pula. Sejenak kemudian, maka telah terdengar suara sapu lidi di halaman, serta derit senggot timba di sumur. Tetapi bukan saja di rumah Agung Sedayu. Seisi padukuhan itu seakan-akan telah terbangun. Sesaat kemudian, Kiai Gringsing pun telah berada di pendapa pula. Swandaru yang sudah terbangun masih duduk di antara para pengawalnya, yang telah terbangun dan duduk-duduk di serambi gandok. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu terkejut ketika Kiai Gringsing pagi-pagi memanggilnya. Dengan nada rendah ia berkata, “Tolong, kawani aku setelah kau mandi, ke rumah Ki Gede.“ “Baik Guru,“ jawab Agung Sedayu. “Mumpung masih sangat pagi. Aku ingin berjalan-jalan pula menghirup segarnya udara pagi di Tanah Perdikan ini,“ berkata Kiai Gringsing pula. “Bagaimana dengan Adi Swandaru?“ bertanya Agung Sedayu. “Kita bertanya saja kepadanya, apakah ia akan ikut atau tidak. Atau nanti saja, sekaligus mohon diri di saat kita kembali ke Jati Anom,“ jawab gurunya. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia tidak bertanya langsung kepada Swandaru. Tetapi dipanggilnya Swandaru naik ke pendapa. “Apakah kau mau ikut?“ bertanya Kiai Gringsing. “Kemana Guru?“ bertanya Swandaru. “Aku akan pergi ke rumah Ki Gede. Ada sesuatu yang ingin aku katakan kepada Ki Gede dan Ki Waskita. Nanti aku datang lagi kemari dan bersiap-siap untuk pulang ke padepokan. Siang nanti kita akan singgah lagi ke rumah Ki Gede,“ jawab Kiai Gringsing. “Kenapa tidak nanti saja sama sekali Guru?“ bertanya Swandaru. Lalu, “Bukankah lebih baik nanti saja sama sekali, di saat kita berangkat, singgah dan minta diri?“ “Nanti kita terlalu tergesa-gesa,“ jawab Kiai Gringsing, “aku masih ingin berbicara sekali dengan Ki Waskita.“ “Guru masih kembali lagi kemari sebelum sekali lagi singgah di rumah Ki Gede?“ bertanya Swandaru. “Ya,“ jawab gurunya. “Kita hanya akan mondar mandir saja kesana-kemari. Bukankah sebaiknya sekali saja singgah dan langsung menuju ke Jati Anom?“ bertanya Swandaru. “Sudah aku katakan, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan Ki Waskita dan Ki Gede. Tidak penting sekali. Tetapi rasa-rasanya ada yang terhutang,“ jawab Kiai Gringsing. “Jika demikian, aku menunggu Guru di sini,“ jawab Swandaru. Kiai Gringsing mengangguk-angguk kecil. Sementara Swandaru berkata selanjutnya, “Aku akan bersiap-siap selama Guru berada di rumah Ki Gede.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Sebenarnya selain pergi ke rumah Ki Gede untuk bertemu Ki Waskita dan Ki Gede, aku juga ingin berjalan-jalan untuk melihat matahari memanjat naik.“ Tetapi Swandaru merasa segan untuk pergi. Di rumah Ki Gede ia akan menjadi patung saja. Ia tentu tidak akan banyak dapat berbicara. Apalagi bersama orang-orang tua seperti gurunya, Ki Waskita dan Ki Gede. Karena itu, maka ia benar-benar tidak mengikutinya ketika gurunya kemudian meninggalkan halaman rumah itu, meskipun orang tua itu belum mandi. “Aku akan mandi di rumah Ki Gede, setelah berjalan-jalan,“ berkata Kiai Gringsing. Namun keseganan Swandaru itu sejalan dengan keinginan Kiai Gringsing. Karena Kiai Gringsing ingin berbicara sendiri dengan Agung Sedayu. Sebenarnya Sekar Mirah pun telah mencoba menahan dan minta agar Kiai Gringsing minum dan makan lebih dahulu. Namun Kiai Gringsing hanya sempat minum beberapa teguk minuman hangat saja. “Nanti saja aku makan,“ jawab Kiai Gringsing, “masih terlalu pagi.“ Demikianlah, maka Kiai Gringsing diikuti oleh Agung Sedayu telah meninggalkan rumah itu menuju ke rumah Ki Gede. Tetapi ternyata jarak yang pendek itu telah ditempuh untuk waktu yang lama, karena seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing bahwa ia telah membawa Agung Sedayu untuk berjalan-jalan. Ketika mereka melewati sebuah lorong kecil yang berbelok ke kiri, maka keduanya telah mengikuti lorong itu dan keluar dari padukuhan induk. “Bawa aku ke tempat yang jarang dikunjungi orang,“ berkata Kiai Gringsing. Agung Sedayu terkejut. Tetapi kata-kata gurunya itu tegas. Bahkan katanya kemudian, “Aku perlu menunjukkan sesuatu kepadamu, tanpa orang lain.“ Agung Sedayu telah mengenali Tanah Perdikan itu sebagaimana ia mengenal halaman rumahnya sendiri. Karena itu, maka iapun segera mengetahui, kemana ia harus pergi. Beberapa saat kemudian, keduanya telah berada di lereng sebuah bukit kecil yang jarang didatangi orang. Sebuah gumuk kecil di pinggir sebuah hutan yang masih lebat. “Tempat ini memang jarang di kunjungi orang, Guru. Selain jalan yang sulit, di daerah ini masih terdapat binatang buas yang sering berkeliaran,“ berkata Agung Sedayu. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku ingin menunjukkan sesuatu kepadamu. Mungkin aku memang bukan seorang guru yang baik, karena aku telah membawamu tanpa adik seperguruanmu. Tetapi selain seorang guru, maka aku pun seorang yang tidak dapat mengingkari kenyataan tentang muridku yang hanya dua orang itu.“ “Apakah maksud Guru?“ bertanya Agung Sedayu. “Kau adalah muridku yang tua. Aku berharap bahwa kau akan dapat menggantikan kedudukanku jika aku sudah tidak ada. Kecuali mengendalikan dirimu sendiri, maka kau pun wajib mengendalikan adik seperguruanmu, jika sekali-sekali ia menyimpang dari jalan kebenaran,“ berkata Kiai Gringsing. “Apakah Guru melihat gejala seperti itu?“ bertanya Agung Sedayu. Tetapi justru gurunya itu bertanya kepadanya, “Bagaimana menurut pendapatmu?“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian menjawab, “Bagiku Adi Swandaru adalah orang yang baik. Ia telah berusaha menegakkan satu keyakinan hidup, terutama dalam tugas dan kewajibannya sebagai anak seorang Demang. Ia telah berbuat apa saja bagi kesejahteraan kademangannya.“ “Secara pribadi, apakah kau tidak melihat sesuatu yang dapat membahayakan kelurusan tingkah lakunya?“ bertanya Kiai Gringsing. Agung Sedayu termangu-mangu. Adik seperguruannya itu memang mempunyai sikap yang agak garang. Cepat mengambil keputusan, dan di atas semuanya itu, ia mempunyai harga diri yang terlalu tinggi. Ia menilai dirinya sendiri lebih dari orang lain, sehingga karena itu, maka ia telah salah membuat perbandingan ilmu dengan Agung Sedayu sendiri. Karena itu, dalam keadaan yang khusus maka Swandaru akan dapat mengambil sikap yang tergesa-gesa, dan karena itu kurang dapat dipertanggung-jawabkan. Agung Sedayu itu memang sedikit tergetar ketika gurunya berkata, “Dengarlah. Aku sudah minta kedua muridku untuk meningkatkan ilmunya. Itu memang perlu sekali. Kita pun kadang-kadang mempunyai harga diri, sehingga kepada orang lain kita harus menunjukkan bahwa perguruan kita termasuk perguruan yang harus diperhitungkan.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu katanya pula, “Tetapi untuk itu kita tidak boleh lepas kendali. Kita harus tetap menempatkan diri kita sebagai seorang yang terikat oleh paugeran hidup di antara sesama dan bertanggung jawab kepada sumber hidup kita.“ Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih menunggu gurunya melanjutkan. “Agung Sedayu,“ berkata gurunya, “aku sudah menganjurkan kalian mempelajari sampai tingkat yang terakhir dari ilmu cambuk sebagai satu ciri dari perguruan kita. Kau tentu sudah tahu, bahwa selama ini kalian meninggalkan tingkat terakhir dari ilmu itu. Bahkan Swandaru masih harus meningkat dua tataran lagi. Namun seandainya kalian benar-benar menekuninya dan melakukan laku yang berat itu, maka kalian akan sampai pada satu tingkat yang sulit untuk diatasi. Aku masih yakin, bahwa seandainya kau memiliki kemampuan itu, kau masih akan selalu mengendalikan dirimu sehingga kau tidak akan mempergunakannya. Agaknya berbeda dengan Swandaru. Jika ia sampai juga pada puncak ilmu itu dengan menjalani laku yang tertulis di dalam kitab itu, maka aku tidak yakin, bahwa Swandaru akan dapat mengendalikan dirinya sebagaimana kau. Meskipun sebenarnya aku memperhitungkan bahwa Swandaru tidak akan sampai pada tingkat terakhir itu. Tetapi siapa tahu, bahwa tingkat itu akan dicapainya pula.“ Agung Sedayu termangu-mangu. Ia mulai dapat meraba arah pembicaraan Kiai Gringsing. Sebenarnyalah maka Kiai Gringsing itu berkata, “Karena itu Agung Sedayu, Swandaru tidak boleh menjadi orang tertinggi dalam ilmu cambuk ini. Dengan demikian maka kau mempunyai beban ganda. Mempelajari ilmu itu tanpa niat mempergunakannya, sekaligus mengawasi Swandaru, apalagi jika iapun mencapai tataran tertinggi itu. Namun aku yakin bahwa kau akan lebih matang dari padanya.“ Jantung Agung Sedayu terasa berdetak semakin cepat. Ia dapat mengerti pesan gurunya itu. Tetapi ia tidak mengira bahwa gurunya menjadi sangat berhati-hati terhadap adik seperguruannya. Namun dalam pada itu Kiai Gringsing berkata. “Aku sependapat dengan kau, bahwa Swandaru adalah anak muda yang baik. Ia mencintai kampung halamannya di atas segala-galanya. Tetapi ia juga sangat mencintai dirinya sendiri dalam hubungannya dengan orang lain. Memang bukan satu kesalahan, tetapi akibatnya dapat menjadi kurang baik. Jika dalam hubungan ini ia memiliki ilmu tertinggi dari cabang ilmu cambuk itu, maka tanpa orang lain yang melampaui kemampuannya, ia akan dapat berbahaya, tanpa maksud-maksud buruk.“ Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Aku mengerti Guru.“ “Nah,“ berkata Kiai Gringsing, “kau memang harus mempunyai gambaran, seberapa jauh kemampuan tertinggi dari ilmu cambuk itu. Jika kau meningkat satu tataran lagi, maka kau akan sampai pada puncak kemampuan ini.“ Agung Sedayu menjadi tegang ketika ia melihat gurunya mengurai cambuknya. Dengan nada datar ia berkata, “Lihat, aku akan menunjukkan kepadamu, sampai tingkat yang manakah ilmu cambuk Swandaru sekarang ini.“ Dengan tegang Agung Sedayu memperhatikan Kiai Gringsing memutar cambuknya. Kemudian menghentakkan cambuk sendal pancing. Suaranya meledak keras sekali, sebagaimana pernah dilakukan oleh Swandaru. Jika hentakan ujung cambuk itu mengenai batu padas, maka batu padas itu tentu akan pecah. Namun kemudian Kiai Gringsing pun berkata, “Sekarang kau lihat, seberapa jauh kau mampu mencapai tingkat ilmu cambukmu itu.“ Sejenak kemudian. maka Kiai Gringsing itupun telah sekali lagi menghentakkan cambuknya pula. Suaranya hampir tidak terdengar. Namun getarannya terasa menghentak sampai ke jantung. Dalam tataran itu, ujung cambuk Kiai Gringsing itu telah dapat melumatkan batu padas menjadi debu. Namun kemudian Kiai Gringsing itu berkata, “Sekarang, lihat. Bagaimana jika ilmu itu meningkat satu tataran lagi dan bila sudah mencapai puncak kematangannya.“ Jantung Agung Sedayu menjadi benar-benar berdebar-debar. Ia melihat gurunya memutar cambuknya. Semakin lama semakin cepat sehingga suara desingnya telah menerpa isi dada. Rasa-rasanya desingnya saja telah mampu menahan lawan, jika hal itu dilakukan dalam satu pertempuran. Agung Sedayu yang pernah membaca untuk menangkap dan memahatkan isi kitab guruya pada bagian tetakhir itu, memang mengetahui bahwa bagian tetakhir itu memuat laku yang sangat berat, namun akan menghasilkan kekuatan yang sangat tinggi. Namun kini gurunya telah memperlihatkannya, bagaimana ilmu cambuk itu pada tataran akhir. Demikianlah, setelah membuat ancang-ancang sejenak, maka Kiai Gringsing pun telah melepaskan serangan dengan ilmu cambuknya pada tataran tertinggi dari puncak ilmu cambuk, yang dikenal sebagai ciri dari perguruan Orang Bercambuk itu. Agung Sedayu adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Namun ia seperti orang bingung melihat gurunya melepaskan ilmu cambuk pada tataran tertinggi itu. Dari hentakan cambuknya yang hampir tidak berbunyi sama sekali telah meluncur seleret cahaya kebiru-biruan. Cahaya yang meluncur dengan kecepatan tatit kecil di pinggir hutan itu. Memang tidak terdengar ledakan dahsyat. Tetapi ledakan itu telah terjadi. Gumuk itu benar-benar bagaikan telah meledak, sehingga batu-batu padas pun telah berguguran, meskipun tidak melontarkan bunyi yang terlalu keras. Untuk beberapa saat Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Ia mempunyai kemampuan ilmu untuk menyerang dari jarak jauh dengan mempergunakan sorot matanya. Tetapi dibandingkan dengan serangan ilmu cambuk itu, maka kekuatannya masih berada di bawah. Agaknya seseorang sulit untuk menghindari serangan yang demikian menggetarkan jantung itu, betapapun seseorang memiliki ilmu tinggi. Sedangkan jika seseorang terkena serangan itu, meskipun orang itu dibalut dengan ilmu kebal rangkap, namun ia tidak akan mampu bertahan untuk tetap hidup. Bahkan agaknya serangan itu dapat ditujukan bukan hanya kepada seseorang, tetapi kepada sekelompok orang. Dalam pada itu, Agung Sedayu pun tiba-tiba menyadari, kenapa gurunya telah memerintahkannya untuk menguasai ilmu sampai ke tataran tertinggi meskipun ia tidak berniat mempergunakannya, karena kitab itu juga akan berada di tangan Swandaru. Yang meskipun butuh waktu yang lama, tetapi jika dikehendaki akan dapat mencapai tingkat itu pula. Sementara itu Agung Sedayu pun seakan-akan telah menjadi saksi, bahwa sepanjang ia menjadi murid Orang Bercambuk itu, ia belum pernah melihat gurunya mempergunakan puncak ilmu cambuknya itu, meskipun ia pernah menyaksikan dalam satu pertempuran gurunya telah terluka. “Ilmu itu terlalu dahsyat,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. “Nah, Agung Sedayu,“ berkata Kiai Gringsing, “kau sudah melihat kedahsyatan ilmu itu. Kuasailah, tetapi dengan tekad untuk tidak mempergunakannya sama sekali.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Segalanya sudah jelas baginya, apa yang harus dilakukan. Tetapi Agung Sedayu masih bertanya kepada gurunya, “Guru. Kenapa Guru tidak memerintahkan saja agar Adi Swandaru tidak perlu mempelajari ilmu cambuk itu sampai tataran yang terakhir? Ia cukup meningkatkan ilmu cambuknya satu tataran saja lagi, sehingga ilmunya akan berada pada tataran yang sama dengan ilmuku. Namun jika Guru sependapat, ilmuku mudah-mudahan lebih matang dari ilmunya.” Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, “Jika aku mencoba melarangnya, maka pada suatu saat. dimana aku tidak lagi mampu melarangnya, maka ia justru akan berusaha dengan diam-diam mempelajarinya. Aku pun tidak mungkin menutup bagian tertinggi dari ilmu itu, atau menghapusnya dari kitab itu, karena dengan demikian aku sudah menyusut ilmu itu. Karena itu, satu-satunya jalan bagiku adalah memaksamu untuk selalu berada di tingkat tertinggi dari segala macam ilmu yang dapat dipelajari dari kitab itu. Tetapi aku pun tidak akan menutup kenyataan bahwa kau sebagai manusia biasa tentu dibatasi oleh keterbatasanmu. Sebenarnyalah, aku lebih percaya kepadamu daripada Swandaru. Mungkin sekali lagi aku harus mengaku bahwa aku bukan seorang guru yang baik, karena ternyata aku tidak adil berbuat terhadap murid-muridku. Tetapi aku mempunyai landasan yang aku anggap dapat dipertanggung-jawabkan.“ Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku sangat berterima kasih kepada Guru, bahwa Guru masih mempercayaiku sebagai murid, betapapun mungkin aku kurang memenuhi keinginan Guru.“ “Sebenarnya bagiku kau sudah lebih dari cukup. Apalagi kau mampu menyerap ilmu dari luar dinding perguruan kita, serta membuatnya luluh menyatu dengan ilmu kita. Itu satu keuntungan yang dapat memperkaya perguruan kita, karena jika kau sempat menurunkan ilmu kepada orang lain, maka ilmu itu tingkatnya tentu lebih tinggi dari apa yang dapat aku berikan kepadamu. Atas dasar itu pula maka aku percaya kepadamu, bahwa kau akan dapat menjaga nama perguruan kita dengan sebaik-baiknya.“ Agung Sedayu menundukkan wajahnya. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Marilah. Kita pergi ke rumah Ki Gede.“ “Mari Guru,“ jawab Agung Sedayu, yang tiba-tiba saja merasa bebannya menjadi semakin berat. Sambil berjalan ke padukuhan induk Kiai Gringsing masih sempat bertanya, “Bukankah kitab itu ada padamu sekarang?“ “Ya Guru,“ jawab Agung Sedayu, “tetapi Adi Swandaru telah mengatakan bahwa kitab itu akan dibawanya ke Sangkal Putung nanti, jika ia kembali bersama Guru.“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia bertanya, “Bukankah kau tidak memerlukannya?“ “Kenapa?“ bertanya Agung Sedayu. “Maksudku, bukankah kau telah mampu memahatkan pengertian, bahkan kata demi kata yang tertulis pada kitab itu, pada ingatanmu?“ bertanya gurunya. “Ya Guru,“ Jawab Agung Sedayu. “Bailah. Jika demikian, biarlah kitab itu ada pada Swandaru selagi ia berniat untuk meningkatkan ilmunya yang ketinggalan,“ berkata Kiai Gringsing. “Menurut perhitunganku, maka ia akan terhenti pada tataran berikutnya. Tetapi sekali lagi aku pesan kepadamu, kau harus mencapai puncak kemampuan ilmu cambuk itu.“ Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi sambil melangkah, kepalanya justru telah menunduk. Beberapa saat kemudian, maka mereka telah berada di rumah Ki Gede. Dengan singkat, Kiai Gringsing menyatakan bahwa siang nanti setelah matahari turun, ia akan kembali ke Jati Anom. “Aku mohon maaf Ki Waskita, bahwa aku tidak dapat tinggal di sini lebih lama lagi. Sebenarnya kita masih dapat bersama-sama mengawani Ki Gede beberapa saat lagi. Tetapi Swandaru tidak dapat tinggal terlalu lama di sini,“ berkata Kiai Gringsing. Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Rumahku tidak sejauh rumah Kiai Gringsing. Setiap saat aku dapat datang dan pergi, hilir mudik dari rumahku ke rumah ini. Tetapi aku pun telah merencanakan untuk mohon diri besok.“ “Begitu tergesa-gesa?“ Kiai Gringsing-lah yang kemudian bertanya. “Seperti yang aku katakan. Aku dapat hilir mudik kapan saja aku ingini,“ jawab Ki Waskita. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia berkata, “Bukankah aku juga dapat berbuat seperti itu? Asal saja Ki Gede memberikan bekal untuk upah menyeberangi Kali Praga.“ Ki Gede pun tertawa. Sementara itu, mereka masih berbincang beberapa saat, sementara Sekar Mirah telah berada di rumah itu pula. Sekar Mirah pula-lah yang kemudian telah menyediakan hidangan bagi Kiai Gringsing serta tamu-tamu yang lain. Sekar Mirah pula-lah yang telah menyiapkan dan kemudian mengirimkan makan bagi para pengawal Swandaru yang ada di rumahnya. Dalam pada itu, setelah makan dan minum, serta matahari menjadi semakin tinggi, Kiai Gringsing telah minta diri untuk pergi ke rumah Agung Sedayu. “Nanti pada saatnya, kami, maksudku aku dan Swandaru, akan singgah lagi kemari untuk minta diri,“ berkata Kiai Gringsing. “Kenapa Kiai tidak menunggu di sini saja?“ bertanya Ki Gede. Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian iapun menjawab, “Biarlah aku meninggalkan Tanah Perdikan ini dari rumah muridku.“ Ki Gede tersenyum. Katanya, “Jika demikian silahkan. Agaknya memang ada alasannya, kenapa Kiai Gringsing harus mondar mandir.“ Kiai Gringsing pun tertawa. Ia memang merasakan sikapnya sendiri yang agak gelisah. Tetapi iapun menyadari, bahwa hal itu disebabkan oleh tanggung jawabnya terhadap kedua muridnya. Tanggung jawab atas sikap lahir dan batin mereka. Demikianlah, maka sejenak kemudian Kiai Gringsing pun telah meninggalkan rumah Ki Gede untuk kembali ke rumah Agung Sedayu. Di rumah Agung Sedayu, Kiai Gringsing berbenah sebentar. Demikian pula Swandaru dan para pengawalnya. Dalam waktu yang singkat itu, Kiai Gringsing masih sempat memberikan beberapa pesan kepada muridnya selagi mereka ada bersama-sama. Seperti yang direncanakan oleh Swandaru, maka kitab Gurunya itu pun telah disimpan di dalam sebuah kantong kain dan dibawa ke Sangkal Putung. Dengan sangat-sangat gurunya berpesan, agar kitab perguruan dari Orang Bercambuk itu disimpan baik-baik. Kitab itu tidak boleh jatuh ke tangan siapapun juga selain para murid dari perguruan Orang Bercambuk. “Aku akan menjaganya dengan baik. Guru,“ janji Swandaru. “Kalian juga harus merahasiakan bahwa kalian telah menyimpan kitab tentang ilmu yang termasuk dalam tataran yang tinggi. Karena jika ada orang yang berniat buruk, tentu akan berusaha untuk mengambilnya. Meskipun di dunia ini ada beberapa kitab yang tidak kalah pentingnya dari kitab perguruan Orang Bercambuk, termasuk kitab yang disimpan oleh Ki Waskita, yang memuat antara lain ilmu yang dapat menumbuhkan bayangan di dalam angan-angan orang lain sehingga seakan-akan telah hadir satu ujud yang disebut ujud semu, tetapi ada kekhususan yang terdapat di dalam kitab kita itu. Yaitu ilmu pengobatan yang jarang sekali ada duanya. Penguasaan terhadap berbagai macam racun dan bisa beserta penangkalnya, serta jenis-jenis tumbuh-tumbuhan yang dapat menjadi obat dari berbagai macam penyakit dan luka,“ berkata Kiai Gringsing. Kedua murid Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk. Mereka menyadari, betapa pentingnya kitab itu, sehingga karena itu, maka apapun yang terjadi kitab itu tidak boleh terlepas dari tangan mereka. “Guru,“ berkata Swandaru, “untuk beberapa lama kitab ini akan berada di Sangkal Putung. Aku berjanji bahwa kitab itu akan terlindung dengan baik di Sangkal Putung. Mudah-mudahan Kakang Agung Sedayupun akan dapat berbuat demikian pula.“ Kiai Gringsing pun berpaling kepada Agung Sedayu dan bertanya, “Bukankah kau juga berjanji?“ Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian menjawab, “Aku berjanji, Guru.“ “Nah,“ berkata Kiai Gringsing, “aku merasa tenang. Agaknya segala sesuatunya telah siap. Matahari telah hampir mencapai puncak. Kita akan segera berangkat. Jika kita singgah barang sebentar di rumah Ki Gede, maka pada saat matahari turun, kita akan berjalan ke arah yang berlawanan dengan arah sinar matahari.“ Demikianlah, maka sejenak kemudian Kiai Gringsing pun telah meninggalkan rumah itu. Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih mengantar mereka sampai ke rumah Ki Gede, sementara Sekar Mirah telah berada di rumah Ki Gede pula. Ternyata Kiai Gringsing tidak dapat menolak ketika Sekar Mirah kemudian menghidangkan makan dan minum untuk mereka yang akan berangkat menempuh perjalanan ke Jati Anom. Ketika Swandaru sempat berbincang dengan Ki Gede, maka Ki Gede mendengarkan dengan gembira tentang Pandan Wangi yang sudah hampir melahirkan. Dengan demikian Ki Gede akan segera mempunyai cucu. “Bukankah Pandan Wangi mengerti, bahwa ia harus menghentikan segala kegiatannya dalam olah kanuragan?“ bertanya Ki Gede. “Ya Ki Gede,“ jawab Swandaru. ”Pandan Wangi berusaha untuk menjaga dirinya sendiri dan anaknya yang bakal lahir itu.“ “Syukurlah. Apakah anak itu laki-laki atau perempuan, mudah-mudahan ia akan menjadi anak yang baik,“ berkata Ki Gede. Demikianlah, mereka sempat berbincang-bincang sejenak. Setelah makan dan minum, serta matahari mulai nampak condong, maka Kiai Gringsing pun telah minta diri untuk kembali ke Jati Anom. “Apakah Kiai tidak akan kemalaman di perjalanan?“ bertanya Ki Gede. “Justru perjalanan kami akan menjadi sejuk,“ sahut Kiai Gringsing. Namun kemudian katanya, “Mudah-mudahan kami sampai di tujuan sebelum malam.“ Demikianlah, sejenak kemudian Kiai Gringsing telah benar-benar meninggalkan rumah Ki Gede. Beberapa orang telah mengantarnya sampai ke regol. Demikian pula Sekar Mirah yang berdesis, “Hati-hati Kakang. Sungkemku kepada Ayah dan seluruh keluarga di Sangkal Putung. Mudah-mudahan Mbokayu Pandan Wangi akan melahirkan dengan selamat. Jika saja kami tahu sebelumnya, kami akan berusaha untuk dapat mengunjunginya saat ia melahirkan.“ “Jaraknya terlalu jauh Mirah,“ jawab Swandaru, “tetapi aku akan berusaha.“ Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing, Swandaru dan beberapa orang pengawalnya telah meninggalkan padukuhan induk. Mereka menyusuri jalan menuju ke Kali Praga. Swandaru telah minta kepada Kiai Gringsing, agar mereka menempuh jalan yang jauh dari Mataram. “Mataram sedang dalam kesiagaan penuh, Guru. Kita lebih baik menjauhi kemungkinan bertemu dengan pasukan peronda yang barangkali belum kita kenal, sehingga dapat terjadi salah paham,“ desis Swandaru. Kiai Gringsing dapat mengerti alasan Swandaru. Meskipun sebenarnya ia ingin bertemu dan berbicara dengan Panembahan Senapati setelah terjadi usaha untuk membunuh Ki Patih Mandaraka. Tetapi niat itu pun telah ditundanya. Karena itu, maka mereka pun telah memilih jalan utara. Mereka menyeberang di penyeberangan sebelah utara pula. Penyeberangan yang tidak sebesar penyeberangan yang berada di tengah. Bahkan masih lebih sepi dibandingkan dengan penyeberangan di sebelah selatan. Meskipun demikian, ketika mereka sampai ke tepi Kali Praga, mereka masih harus menunggu, karena rakit penyeberangan yang sedang membawa orang baru saja berangkat, sementara rakit yang lain, yang menuju ke sisi barat, masih berada di tengah. Beberapa saat mereka menunggu. Namun kemudian rakit itu pun telah menepi. Tetapi rakit yang tidak begitu besar itu tidak dapat membawa Kiai Gringsing, Swandaru dan para pengawalnya sekaligus, sehingga karena itu, maka mereka memerlukan dua buah rakit untuk membawa mereka beserta kuda mereka. Namun bagaimanapun juga, sekelompok orang-orang berkuda itu memang menarik perhatian. Beberapa orang bahkan telah menduga-duga. Dua orang yang mengaku pedagang dengan pedang di lambung telah mendekati Kiai Gringsing yang sedang menunggu rakit yang sebuah lagi, sambil bertanya, “Ki Sanak? Darimana Ki Sanak datang atau kemana Ki Sanak akan pergi, dengan pengawalan yang kuat itu? Apakah Ki Sanak Saudagar yang membawa dagangan yang mahal, atau sedang dalam perjalanan untuk menyampaikan peningset pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan yang bernilai sangat tinggi, atau karena perang yang terjadi di Tanah Perdikan baru-baru ini?“ Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Aku memang penakut. Pengawal itu memberikan ketenangan di hatiku dalam perjalananku, meskipun aku tidak membawa apa-apa. Perang di Tanah Perdikan itu merupakan desakan utama agar aku melindungi diriku dengan para pengawal itu.“ Orang yang mengaku pedagang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Demikianlah, maka Kiai Gringsing telah melanjutkan perjalanannya langsung ke Jati Anom. Orang tua itu tidak singgah di Sangkal Putung. Swandaru-lah yang mengantarnya ke Jati Anom, baru kemudian kembali ke Sangkal Putung. Perjalanan mereka memang merupakan perjalanan panjang. Apalagi mereka tidak melalui jalan yang biasa dilalui iring-iringan para pedagang dan orang-orang yang menempuh perjalanan jauh. Mereka telah menempuh jalan yang lebih sepi. Tetapi jalan itu lebih banyak melalui lereng Gunung Merapi, sehingga kadang-kadang mereka harus sedikit naik turun. Ternyata perjalanan mereka tidak secepat yang mereka perhitungkan. Bagaimanapun juga Kiai Gringsing yang tua itu harus mengingat kekuatan dan ketahanan kuda-kuda mereka. Mereka memasuki Jati Anom setelah hari menjadi gelap. Sekelompok prajurit peronda yang melihat iring-iringan lewat di bulak panjang telah bergegas menyusulnya. Tetapi Kiai Gringsing dan Swandaru mengerti, bahwa orang-orang berkuda itu adalah prajurit Pajang di Jati Anom yang sebagian besar telah mengenal mereka. Karena itu, maka kuda-kuda mereka berderap dengan tenang tanpa merubah kecepatan. Sebenarnyalah ketika para prajurit itu menyusul iring-iringan dari Tanah Perdikan Menoreh itu, pimpinannya yang telah mengenal Kiai Gringsing segera menemuinya dan bertanya, “Darimana Kiai?“ “Kami dari Tanah Perdikan,“ jawab Kiai Gringsing. “O. Demikian Kiai mendengar berita tentang keributan yang terjadi di Tanah Perdikan, Kiai langsung menengok murid Kiai,“ desis pemimpin prajurit itu. “Tidak. Ketika terjadi keributan justru aku sedang berada di sana. Swandaru-lah yang kemudian menyusul untuk melihat keadaanku dan keadaan kakak seperguruannya. Karena itu, ia membawa pengawal,“ jawab Kiai Gringsing. “O,“ pemimpin prajurit itu mengangguk-angguk, “lalu bagaimana keadaan Tanah Perdikan sekarang?“ “Semuanya sudah dapat diatasi. Prajurit Mataram datang tepat pada waktunya,“ jawab Kiai Gringsing. “Kami sudah mendengar laporannya di sini. Syukurlan bahwa semuanya selamat,“ berkata pemimpin prajurit itu. Namun kemudian pemimpin prajurit itu berkata, “Nah, selamat jalan Kiai. Jaraknya tinggal sejengkal lagi. Kami akan melanjutkan tugas kami.“ Kemudian sambil berpaling kepada Swandaru ia berkata, “Apakah kau akan singgah menemui Ki Untara?“ Swandaru menggeleng sambil menjawab, “Tidak sekarang. Besok lain kali aku akan menemuninya.“ Demikianlah, maka iring-iringan prajurit yang sedang meronda itu telah memisahkan diri. Kemudian melanjutkan tugas mereka mengelilingi daerah yang bukan saja termasuk Kademangan Jati Anom, tetapi jangkauan prajurit-prajurit itu jauh lebih luas lagi. Sebenarnyalah jarak yang harus ditempuh oleh Kiai Gringsing tinggal beberapa bulak lagi. Mereka telah melampaui Tanah Cengkar yang sering disebut-sebut ditunggui oleh seekor harimau putih. Kemudian menuju ke sebuah padepokan kecil. Di padukuhan terakhir, mereka lewat di sebuah barak kecil di sudut padukuhan. Di barak itu Untara telah meletakkan sekelompok prajuritnya yang bertugas mengawasi keadaan, dan dalam keadaan memaksa dapat dengan cepat mendekati padepokan kecil yang dititipkan oleh adiknya kepadanya. Meskipun di padepokan itu ada Kiai Gringsing, namun jika Kiai Gringsing itu sedang pergi, maka padepokan itu memang memerlukan sandaran kekuatan. Apalagi jika sekelompok orang datang dan berniat buruk di padepokan kecil itu, sementara para pemimpinnya tidak ada. Ketika Kiai Gringsing lewat di muka barak itu, maka ia telah menghentikan kudanya. Berbincang sejenak dengan prajurit yang bertugas jaga di regol. Kemudian melanjutkan perjalanan. bersambung

APIDI BUKIT MENOREH. 615 likes · 8 talking about this. Karya: S.H Mintardja Cerita tentang petualangan Agung Sedayu. Cerita Silat lainnya kunjungi

Bagian 3 Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil menundukkan wajahnya. Berbagai pertimbangan telah tumpang tindih dan wor suh menjadi satu dalam benaknya. Sejenak suasana menjadi sunyi. Ketika terdengar lamat-lamat para peronda di gardu-gardu telah menabuh kentongan dengan nada dara muluk, Kanjeng Sunan dengan perlahan berdesis, “Sudahlah Ki Rangga. Engkau dapat mengesampingkan dahulu pertanyaanku tadi. Sekarang sudah ada tugas yang menunggu.” Terkejut Ki Rangga mendengar kata-kata Kanjeng Sunan sehingga tanpa sadar dia mengangkat wajahnya. Namun begitu menyadari Kanjeng Sunan sedang memandang ke arahnya, dengan cepat Ki Rangga segera menundukkan wajahnya. “Ampun Kanjeng Sunan,” berkata Ki Rangga kemudian sambil menyembah, “Tugas apakah yang harus hamba laksanakan?” Untuk beberapa saat Kanjeng Sunan tidak menjawab. Hanya terdengar helaan nafasnya yang panjang. Seolah-olah Wali yang waskita itu sedang gundah dengan segala polah tingkah manusia di atas bumi ini. “Ki Rangga,” akhirnya Kanjeng Sunan berkata perlahan, “Segala sesuatu yang terjadi di atas bumi ini sudah menjadi ketentuan Yang Maha Kuasa. Namun sebagai hambaNYA kita diijinkan untuk berdoa dan berusaha,” Kanjeng Sunan berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Pergilah ke Lemah Cengkar. Engkau pasti sudah tahu dimana tempat itu. Bantulah pasukan Mataram yang sedang mengalami kesulitan.” Bergetar dada Ki Rangga mendengar perintah Kanjeng Sunan. Dengan memberanikan diri, Ki Rangga pun segera mengajukan sebuah pertanyaan, “Ampun Kanjeng Sunan, Lemah Cengkar terletak di dekat Kademangan Jati Anom. Jarak Jati Anom dengan Tanah Perdikan Menoreh ini tidak lah dekat. Hamba mohon petunjuk Kanjeng Sunan.” Kanjeng Sunan tersenyum tipis mendengar pertanyaan Ki Rangga. Jawabnya kemudian, “Bukankah aku tadi sudah mengajarkan sebuah doa dari Kanjeng Nabi junjungan kita agar dalam menempuh sebuah perjalanan, kita diberi kemudahan oleh Yang Maha Agung?” “Hamba Kanjeng Sunan,” jawab Ki Rangga dengan serta merta, “Namun Kanjeng Sunan belum menjelaskan laku apakah yang harus hamba tempuh sebagai asok tukon dalam menguasai ilmu itu?” Senyum Kanjeng Sunan pun semakin lebar mendengar pertanyaan Ki Rangga. Jawab Kanjeng Sunan kemudian, “Apa yang diajarkan oleh Junjungan kita, sangatlah berbeda dengan apa yang selama ini Ki Rangga pelajari. Dalam mengamalkan sebuah doa, tidak dituntut untuk mengerjakan sebuah laku khusus. Justru laku yang harus kita tempuh adalah sepanjang hayat masih dikandung badan. Tingkah laku sepanjang hidup kita lah yang akan menentukan terkabul tidaknya sebuah permohonan.” Ki Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya dalam-dalam. Sambil tetap menundukkan wajahnya, Ki Rangga kembali menyembah sambil berkata, “Mohon ampun Kanjeng Sunan, apakah syarat terkabulnya sebuah doa tergantung dari baik buruknya tingkah laku kita?” Kali ini Kanjeng Sunan tertawa kecil. Jawabnya kemudian, “Yang Maha Agung telah memberikan pilihan kepada hambaNYA. Dari arah manakah kita akan memohon pertolonganNYA? Jika kita menghendaki dapat merengkuh kebaikan di dunia ini maupun di alam kelanggengan nanti, tentu saja kita akan selalu berusaha menempuh jalan yang diridhoiNYA.” Sejenak Ki Rangga termangu-mangu. Nasehat Kanjeng Sunan sedikit banyak telah menambah wawasan dalam kawruh olah kebatinan di dalam dirinya. “Nah, Ki Rangga,” berkata Kanjeng Sunan kemudian, “Berangkatlah. Panjatkan lah doa dengan sepenuh niat hanya berpasrah diri kepadaNYa. Semoga Yang Maha Agung senantiasa memberi kita petunjuk dan bimbinganNYA.” “Hamba, Kanjeng Sunan,” jawab Ki Rangga sambil menyembah. Dengan perlahan Ki Rangga segera memutar tubuhnya menghadap Kiblat. Diangkatnya kedua tangan untuk memohon pertolongan dari penguasa jagad raya dan seisinya ini. Ketika Ki Rangga telah selesai memanjatkan doa, dengan perlahan dia menggeser duduknya menjauhi tempat duduk Kanjeng Sunan sebelum akhirnya Ki Rangga bangkit berdiri. Perlahan Ki Rangga menghadap ke arah pintu sanggar yang tertutup rapat. Ketika Ki Rangga kemudian melangkah mendekati pintu sanggar dengan langkah yang tampak sedikit ragu-ragu, terdengar Kanjeng Sunan berkata perlahan namun cukup menggetarkan jantung suami Sekar Mirah itu. “Jangan pernah ragu-ragu dalam mengerjakan suatu pekerjaan atas dasar niat yang ikhlas dan semata-mata mencari ridhloNYA. Sesungguhnya Tuhanmu tidak akan menolong hambaNYA yang hatinya selalu diliputi oleh keraguan.” Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas panjang mendengar nasehat Kanjeng Sunan. Hatinya yang sedikit ragu-ragu kembali menjadi tenang. Betapapun, Ki Rangga sudah terbiasa menjalani sebuah laku terlebih dahulu sebelum meraih keberhasilan dalam mempelajari sebuah ilmu. Namun yang terjadi sekarang ini adalah bagaikan dalam sebuah mimpi. Dirinya akan mengetrapkan sebuah doa yang aka dapat dijadikan sebagai sarana memohon pertolongan kepada Yang Maha Agung tanpa menjalani sebuah laku pun sebelumnya. “Aku harus yakin,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Sekuat keyakinanku bahwa Yang Maha Agung itu benar adaNYA dan hanya melalui pertolonganNYa lah, seorang hamba mampu melaksanakan kewajiban yang dibebankan kepadanya.” Dengan tangan sedikit gemetar, Ki Rangga membuka selarak pintu sanggar. Begitu pintu sanggar itu mulai terbuka, angin malam yang dingin segera menampar wajahnya. Sementara pandang mata Ki Rangga hanya menangkap kegelapan yang pekat di luar sanggar. Sejenak hati Ki Rangga Agung Sedayu kembali diliputi sepercik keragu-raguan. Namun ketika tanpa sadar dia berpaling ke belakang, alangkah terkejutnya suami Sekar Mirah itu ketika pandangan matanya tidak melihat lagi Wali yang waskita itu duduk di tempatnya. “Hem,” desah Ki Rangga perlahan sambil kembali memandang ke luar sanggar. Kegelapan yang pekat benar-benar membuat Ki Rangga sedikit bimbang. Sudah dicobanya untuk menembus kegelapan itu dengan Aji Sapta Pandulu, namun seolah-olah sebuah tabir yang hitam pekat telah dibentangkan di depan matanya. Angin malam yang dingin terasa menusuk tulang dan membekukan darah. Namun Ki Rangga tidak akan mundur setapak pun. Dengan hati yang pasrah dan sepenuh keyakinan akan kekuasaan Yang Maha Agung, dia kembali membaca doa yang telah diajarkan oleh Kanjeng Sunan. Selangkah Ki Rangga maju. Ketika kegelapan ternyata masih saja menghadang di hadapannya, dia segera membulatkan tekadnya dan memutuskan untuk membuang jauh-jauh semua keragu-raguan itu. Dengan menyebut Asma Yang Maha Agung, Ki Rangga pun kemudian segera mempercepat langkahnya. Untuk beberapa saat Ki Rangga berjalan dalam kepekatan. Bagaikan di alam mimpi, Ki Rangga merasa seolah-olah berada di sebuah ruang tanpa batas. Hanya kegelapan yang tampak di sekelilingnya. Namun semua itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba saja pendengaran Ki Rangga yang tajam lamat-lamat telah menangkap suara teriakan dan bentakan ditingkah oleh suara denting beradunya senjata. Semakin lama suara itu terdengar semakin riuh, dan akhirnya seiring dengan berkurangnya kegelapan yang mengurungnya, samar-samar dalam pandangan matanya tampak bayangan sebuah pohon raksasa yang menjulang di tengah padang. “Pohon beringin lemah cengkar,” tanpa sadar Ki Rangga Agung Sedayu berdesis. Tiba-tiba saja sebuah senyum kecil tersungging di bibirnya. Betapa tidak, pada masa mudanya Ki Rangga Agung Sedayu sama sekali tidak pernah berani melewati daerah itu. Bahkan ketika kakaknya Untara terluka dan dirawat oleh dukun tua di dukuh Pakuwon, dan dia harus menggantikan tugas kakaknya untuk pergi ke Sangkal Putung menemui Pamannya, Widura, dia lebih memilih lewat Kaliasat walaupun untuk mencapai Kaliasat dia harus melewai Hutan Macanan serta Bulak Dowo yang terkenal dengan genderuwo mata satunya. “Sebuah kenangan yang tak mungkin terlupakan seumur hidupku,” desis Ki Rangga dalam hati sambil terus melangkah. Dengan mengetrapkan kemampuannya dalam menyerap segala bunyi yang dapat ditimbulkan akibat sentuhan kehadirannya dengan alam sekitarnya, perlahan Ki Rangga Agung Sedayu melangkah semakin mendekati pohon beringin raksasa itu. ***** Dalam pada itu malam telah melewati puncaknya. Sekar Mirah yang telah selesai berbenah terkejut ketika pendengarannya yang tajam mendengar langkah-langkah mendekat. Sesaat kemudian terdengar sebuah ketukan perlahan di pintu bilik. “Siapa?” bertanya Sekar Mirah dengan suara perlahan namun cukup terdengar oleh orang yang berdiri di balik pintu bilik. “Aku mbok Gumbrek, Nyi,” terdengar sahutan perlahan dari balik pintu. “O, masuklah mbok,” jawab Sekar Mirah kemudian, “Ada apa malam-malam begini?” Mbok Gumbrek salah satu pembantu perempuan Ki Gede segera mendorong pintu bilik. Namun alangkah terkejutnya dia begitu pintu terbuka lebar, tampak Sekar Mirah telah berdiri tegak di dekat pembaringan Bagus Sadewa dengan pakaian khusus serta senjata yang mengerikan tergenggam di tangan kanannya. “Nyi..?” terdengar suara sendat dari mbok Gumbrek. Dengan langkah tertegun-tegun dia berjalan memasuki bilik. Sekar Mirah yang menyadari keadaannya segera mencoba mencairkan suasana dengan tersenyum lebar. Katanya kemudian, “Tidak ada masalah yang penting, mbok. Aku hanya sekedar ingin berlatih selangkah dua langkah dengan mbokayu Pandan Wangi di sanggar.” Mbok Gumbrek mengerutkan kening. Dengan nada sedikit ragu-ragu dia memberanikan diri bertanya, “Malam-malam begini?” Masih tetap dengan menyunggingkan sebuah senyuman, Sekar Mirah menjawab, “Ya mbok, apa salahnya? Aku mempunyai sedikit waktu luang hanya di saat tengah malam seperti ini. Di siang hari, aku tidak sempat meluangkan waktu sedikit pun untuk berlatih.” Sejenak mbok Gumbrek merenung. Pandangan matanya tiba-tiba saja tertuju pada Bagus Sadewa yang sedang tidur terlelap. “Aku tadi dibangunkan oleh Nyi Pandan Wangi,” berkata mbok Gumbrek kemudian, “Aku dimintai tolong untuk menjaga putra Nyi Sekar Mirah.” “Nah, bukankah benar kataku,” sahut Sekar Mirah, “Tolong jagalah Bagus Sadewa. Tentu mbokayu Pandan Wangi sudah menungguku di sanggar.” “Baik, Nyi,” jawab mbok Gumbrek kemudian sambil mengangguk dalam-dalam. Tanpa membuang waktu lagi, dengan langkah tergesa-gesa Sekar Mirah pun kemudian segera meninggalkan bilik. Ketika bayangan anak perempuan Ki Demang Sangkal Putung itu sudah hilang menuju ke pintu butulan, barulah dengan langkah satu-satu mbok Gumbrek mendekati pembaringan Bagus Sadewa. Untuk beberapa saat, perempuan tua itu merenungi anak Ki Rangga Agung Sedayu yang sedang tertidur lelap berselimutkan kain panjang. “Apakah sebenarnya yang sedang terjadi?” gumam mbok Gumbrek ditujukan dirinya sendiri. Sambil duduk di bibir pembaringan, dicobanya untuk merunut peristiwa demi peristiwa yang akhir-akhir ini melanda tanah Perdikan Menoreh. “Tadi sore menjelang Matahari terbenam Ki Gede mendapat kunjungan beberapa tamu,” berkata mbok Gumbrek dalam hati, “Kata orang-orang, salah satu tamu Ki Gede adalah priyagung yang sangat dihormati. Kawan-kawan di dapur mengatakan yang datang berkunjung adalah Kanjeng Sunan,” mbok Gumbrek berhenti sejenak. Sambil mencoba mengingat-ingat, dia meneruskan lamunannya, “Perempuan yang sangat cantik yang datang bersama Kanjeng Sunan itu seingatku pernah tinggal di sini beberapa saat yang lalu. Namun sekarang dia telah kembali lagi. Sedangkan anak muda yang satunya aku tidak begitu mengenalnya.” Untuk beberapa saat mbok Gumbrek hanya diam membeku sambil merenungi wajah Bagus Sadewa yang terlihat begitu tenang, setenang air belumbang di tengah hutan yang tak tersentuh oleh tangan manusia. Dalam pada itu Sekar Mirah yang telah keluar lewat pintu butulan segera menyusuri longkangan menuju ke halaman samping. Di belakang gandhok kiri itu lah terletak sebuah sanggar yang cukup luas untuk berlatih olah kanuragan. Ketika Sekar Mirah telah keluar dari pintu seketeng samping, beberapa puluh tombak di hadapannya berdiri sebuah bangunan yang sudah tidak asing lagi baginya, sanggar olah kanuragan. “Mengapa mbokayu Pandan Wangi membiarkan saja pintu sanggar itu terbuka lebar-lebar?” gumam Sekar Mirah sambil berjalan mendekati Sanggar, “Ataukah dengan sengaja mbokayu Pandan Wangi membiarkan pintu itu terbuka lebar agar aku tidak bercuriga jika ada sesuatu yang bersembunyi di balik pintu itu?” “Ah!” angan-angan itu ditepisnya sendiri, “Mbokayu Pandan Wangi bukan seorang yang curang dan berhati culas. Tidak mungkin jika dia bermaksud jahat kepadaku. Bukankah tadi dia sudah mengatakan bahwa semua yang telah terjadi itu baginya hanyalah sebuah kejadian masa lalu? Sungguh tidak sepantasnya aku berprasangka buruk kepadanya.” Tak terasa langkah Sekar Mirah hampir mencapai pintu sanggar. Sinar lampu dlupak yang kemerah-merahan segera saja menyambar seraut wajah paro baya namun terlihat masih cukup cantik itu. Pandangan mata Sekar Mirah pun dengan jelas segera melihat dua orang perempuan dalam pakaian khusus sedang berdiri berdampingan di tengah-tengah ruang sanggar. Sebuah desir tajam segera saja menggores jantungnya. Ayunan langkahnya pun menjadi terhenti dengan sendirinya. Berbagai dugaan dan kemungkinan telah bergejolak di dalam dadanya. “Mengapa mereka berdua justru telah berdiri berdampingan? Tidak berhadap-hadapan?” bertanya Sekar Mirah dalam hati disertai detak jantung yang berdentangan, “Apakah mereka berdua justru sedang menungguku? Menuntaskan dendam yang selama ini telah terpendam?” “Gila!” tiba-tiba saja tanpa sadar sebuah umpatan meluncur dari bibirnya dan membuat dirinya sendiri justru menjadi terkejut, “Permainan apakah sebenarnya yang sedang mereka berdua rencanakan?” Namun pada dasarnya puteri Demang Sangkal Putung itu adalah seorang perempuan yang keras hati dan sedikit tinggi hati. Dengan menghentakkan senjata yang tergenggam di tangan kanannya pada sebuah batu yang tergeletak selangkah di samping kanannya, dia pun melanjutkan langkahnya. “Persetan dengan semua itu!” geramnya. Dengan sebuah hentakan kecil saja, batu hitam sebesar induk ayam itu ternyata telah hancur berhamburan menjadi debu. “Rawe-rawe rantas, malang-malang putung! Sak dumuk bathuk sak nyari bumi, dak belani taker pati!” dengan langkah pasti Sekar Mirah pun kemudian segera menaiki tlundak Sanggar. ***** Dalam pada itu di tengah padang rumput Lemah Cengkar, pertempuran antara pasukan Mataram dengan para pengikut Pangeran Ranapati semakin lama menjadi semakin sengit. Ki Tumenggung Purbarana yang telah berhasil berhadap-hadapan langsung dengan orang yang menyebut dirinya sebagai Pangeran Ranapati telah mengalami tekanan yang diluar perhitungannya. “Gila!” geram Ki Tumenggung dalam hati, “Ternyata kesaktian orang yang mengaku trah Panembahan Senapati ini bukan sekedar omong kosong. Kemampuan orang ini diluar jangkauan ilmuku.” Namun sebagai seorang prajurit, tidak ada kata menyerah bagi Ki Tumenggung. Dihentakkan segenap kemampuannya dan dipasrahkan seluruh hidup matinya kepada Sang Maha Pencipta. Selangkah demi selangkah Ki Tumenggung mulai mundur dan hanya dapat mundur terus. Kekuatan pangeran Ranapati itu benar-benar tidak mampu dibendungnya. Beberapa kali sentuhan dari putra satu-satunya Rara Ambarasari itu telah membuat beberapa bagian tubuhnya memar dan lebam. Mereka berdua memang bertempur dengan tangan kosong. Namun kedua belah tangan mereka tak ubahnya senjata-senjata yang akan dapat membahayakan bagi lawannya. Sekilas pandangan mata Ki Tumenggung sempat melihat Pangeran Jayaraga yang hanya diam membeku di pinggir medan pertempuran. Pangeran adik Prabu Hanyakrawati itu tampak menundukkan wajahnya dalam-dalam tanpa menghiraukan hiruk pikuknya pertempuran. Beberapa saat tadi sebelum kedua pasukan itu berbenturan, Ki Tumenggung telah menugaskan dua orang prajurit untuk mengawalnya. Namun ternyata Pangeran Jayaraga justru telah menolaknya. “Lawan jumlahnya lebih banyak dari jumlah pasukanmu, Ki Tumenggung,” berkata Pangeran Jayaraga beberapa saat tadi, “Percayalah, aku tidak akan kemana-mana. Biarlah dua prajurit ini ikut bertempur. Engkau harus benar-benar memperhitungkan kekuatan lawanmu.” “Sendika Pangeran,” jawab Ki Tumenggung, “Kami mohon maaf tidak dapat melakukan pengawalan sebagaimana mestinya.” Pangeran Jayaraga tertawa pendek. Katanya kemudian, “Aku bukan lagi seorang Pangeran yang berhak mendapat pengawalan. Namun sekarang justru sebaliknya, aku adalah Pangeran pesakitan yang harus dikawal agar tidak melarikan diri atau pun membuat keonaran.” “Ah!” desah Ki Tumenggung sambil tersenyum masam. Katanya kemudian, “Kami mohon diri Pangeran. Agaknya lawan akan segera mulai melakukan penyerangan.” “Silahkan, Ki Tumenggung,” jawab pangeran Jayaraga kemudian singkat. Demikian lah, pertempuran di padang rumput lemah Cengkar itu pun kemudian berkobar semakin lama semakin dahsyat. Jumlah pengikut Pangeran Ranapati yang lebih banyak ternyata telah mempengaruhi keseimbangan pertempuran. Beberapa prajurit bahkan harus berhadapan dengan dua atau tiga lawan sekaligus. Semakin lama tekanan yang dialami para prajurit Mataram semakin berat. Namun dengan cerdik beberapa Lurah prajurit telah memimpin anak buahnya bertempur dalam kelompok-kelompok sehingga untuk sementara tekanan yang dialami prajurit Mataram agak berkurang. Di garis depan, Ki Lurah Adiwaswa harus bertempur menghadapi tiga orang lawan sekaligus. Pedang di tangan kanannya berputaran bagaikan sayap anai-anai yang bertebangan di udara. Sementara sebuah tameng kecil di tangan kirinya tak henti-hentinya menangkis senjata-senjata lawan yang datang beruntun bagaikan air hujan yang tercurah dari langit. Seorang laki-laki yang rambutnya sudah putih semua tampak sedang memperhatikan pertempuran itu. Dengan langkah perlahan dia mendekati arena pertempuran Ki Lurah Adiwaswa. “Tikus-tikus clurut, minggirlah!” tiba-tiba terdengar bentakan keras dari laki-laki yang rambutnya sudah putih semua itu, “Biar aku yang meladeni tingkah polah orang yang sombong ini!” Mendengar bentakan itu, tiga orang pengikut Pangeran Ranapati yang sedang bertempur dengan Ki Lurah Adiwaswa segera berloncatan mundur. “Bantulah kawan-kawanmu agar pertempuran ini segera berakhir,” berkata laki-laki itu sambil berjalan mendekati tempat Ki Adiwaswa berdiri. “Baik Kyai,” hampir serempak mereka menjawab sambil mengangguk. Sejenak kemudian ketiganya segera menyusup dan hilang ditelan riuhnya pertempuran. Berdesir jantung Ki Lurah Adiwaswa sambil pandangan matanya mengawasi ketiga orang itu bergeser surut. Dengan bergabungnya ketiga pengikut Pangeran Ranapati itu dengan kawan-kawannya yang lain, tekanan yang dialami pasukan Mataram akan semakin berat. Namun Ki Lurah Adiwaswa tidak sempat meneruskan angan-angannya karena lawan barunya kini sedang berjalan kearahnya. “Nah,” berkata laki-laki itu kemudian setelah dia berhadap-hadapan dengan Ki Lurah Adiwaswa, “Sebelum aku memenggal kepalamu, tidak ada jeleknya aku memperkenalkan diri terlebih dahulu. Orang menyebutku Kyai Dadap Ireng, karena memang aku adalah pemimpin perguruan Dadap Ireng.” Ki Lurah Adiwaswa mengerutkan keningnya. Nama perguruan Dadap Ireng terdengar masih asing di telinganya. Namun Ki Lurah Adiwaswa tidak ingin mengecewakan lawannya. Maka katanya kemudian, “Terima kasih Kyai Dadap Ireng. Aku Lurah Adiwaswa, salah satu Lurah prajurit yang bertugas di kesatuan pasukan berkuda Mataram.” “Persetan dengan pasukan berkuda Mataram!” geram Kyai Dadap Ireng, “Aku tidak menyuruhmu untuk menyebut namamu. Siapa yang peduli dengan namamu, he!” Ki Lurah Adiwaswa manarik nafas dalam-dalam. Kesan pertama yang didapatkan dari lawannya cukup mendebarkan. Agaknya orang yang menyebut dirinya Kyai Dadap Ireng ini tidak perduli dengan segala unggah-ungguh dan suba sita. “Baiklah Kyai Dadap Ireng,” akhirnya Ki Lurah Adiwaswa berkata, “Aku juga tidak peduli apakah aku berhadapan dengan Dadap Ireng atau Dadap Merah atau bahkan mungkin yang sekarang aku hadapi ini adalah Dadap Ayam, sejenis pohon Dadap yang dapat tumbuh menjulang tinggi namun batangnya bengkok dan kayunya sangat lunak.” “Tutup mulutmu!” teriak Kyai Dadap Ireng sambil meloncat menyambar mulut lawannya. Namun Ki Lurah Adiwaswa sudah waspada terhadap segala gerak gerik lawannya. Dengan mudah dihindari serangan lawan yang mengarah ke wajahnya itu. Sejenak kemudian keduanya pun segera terlibat dalam sebuah pertempuran yang sengit. Silih ungkih singa lena. Terlena sedikit saja nyawa yang menjadi taruhannya. Dalam pada itu, kuda-kuda pasukan Mataram yang lepas dari jebakan di lemah Cengkar telah berlari-larian tanpa arah. Beberapa ekor kuda justru tidak berpacu lurus mengikuti kuda-kuda yang lain menuju Kademangan Jati Anom. Dua ekor kuda justru telah mengambil jalan ke arah kiri menuju Padepokan orang bercambuk. Dua orang cantrik yang sedang berjaga terkejut ketika pendengaran mereka lamat-lamat mendengar derap beberapa ekor kuda menuju ke arah gerbang Padepokan. “Kuda?” desis salah seorang cantrik sambil mengangkat kepalanya, “Malam-malam begini?” “Marilah,” desis kawannya sambil beringsut turun dari pendapa, “Mungkin ada tamu penting yang sengaja berkunjung di waktu yang tidak sewajarnya ini.” Cantrik itu tidak menyahut. Diraihnya pedang pendek yang tergeletak di lantai pendapa. Setelah menyelipkan pendang pendek itu di ikat pinggangnya, dengan tergesa-gesa dia segera berlari mengejar kawannya yang telah terlebih dahulu mencapai pintu gerbang.. Ketika cantrik itu telah sampai di depan gerbang padepokan, kawannya tampak sedang mengintip keluar melalui celah-celah daun pintu yang sedikit renggang. “Dua ekor kuda,” bisik kawannya pada cantrik yang baru datang. “He?” seru cantrik itu terkejut, “Dua orang berkuda, katamu?” “Bukan, bukan dua orang berkuda,” jawab kawannya sambil tetap mengintip, “Dua ekor kuda lengkap dengan pelana namun tanpa seorang penunggang pun.” “He?” kembali cantrik itu berseru heran. Dengan tergesa-gesa dia segera ikut mengintip keluar melalui celah-celah daun pintu gerbang padepokan. Tampak dalam keremangan malam dua ekor kuda lengkap dengan pelana serta perkakas lainnya sedang berderap perlahan di jalan yang menuju ke padepokan dan akhirnya berhenti beberapa tombak di depan gerbang padepokan. Setelah termangu-mangu beberapa saat. Dua ekor kuda itu pun kemudian berjalan menepi dan kemudian merumput dengan tenang di pinggir jalan. “Aneh,” desis cantrik itu, “Dua ekor kuda tanpa penunggang. Pasti sesuatu telah terjadi pada kedua penunggangnya. Aku akan melaporkan ini kepada Ki Widura.” Kawannya mengerutkan keningnya sambil menjauhkan kepalanya dari pintu gerbang. Katanya kemudian, “Apakah cukup beralasan jika kita membangunkan Ki Widura di saat seperti ini?” Sejenak cantrik itu merenung. Namun jawabnya kemudian sambil menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu. Namun keberadaan dua ekor kuda tanpa penunggang ini dapat menimbulkan berbagai dugaan. Mungkin saja ada orang-orang yang sedang memerlukan pertolongan.” “Atau bisa jadi hanya dua ekor kuda yang lepas dari kandangnya karena pemiliknya lupa menutup pintu kandang,” sahut temannya dengan serta merta. “Tapi pemiliknya tentu tidak akan memasangkan pelana jika memang kedua ekor kuda itu hanya terlepas dari kandang,” bantah cantrik itu kemudian. Kawannya tidak menjawab lagi. Hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk-angguk. “Ah, sudahlah,” berkata cantrik itu kemudian, “Tunggulah di sini. Awasi kuda-kuda itu. Aku akan melaporkan kepada Ki Widura.” “Apakah aku harus membuka pintu gerbang?” bertanya kawannya kemudian. “Tidak perlu,” jawab cantrik itu sambil melangkah pergi, “Awasi saja dari celah-celah pintu gerbang. Jika keadaan berkembang diluar kewajaran, engkau dapat memukul kentongan untuk memberikan isyarat.” “Baik,” jawab kawannya. Tanpa sadar matanya memandang kearah sebuah kentongan kecil yang tersangkut di pojok pintu gerbang sebelah atas. Dalam pada itu, pertempuran di lemah Cengkar semakin lama menjadi semakin sulit bagi pasukan Mataram. Walaupun demikian, sebagai prajurit mereka tetap bertahan sampai titik darah penghabisan. Ki Tumenggung Purbarana yang merasa semakin terdesak ternyata telah mengambil sebuah keputusan untuk sekedar mengulur waktu. Ketika sebuah serangan datang membadai dari lawannya, dengan cepat dia segera meloncat mundur tiga kali. Begitu kakinya menginjak tanah kembali, di tangan kanan Tumenggung Purbarana telah tergenggam sebilah pedang panjang. Pangeran Ranapati tertawa melihat Ki Tumenggung menggenggam senjatanya. Katanya kemudian, “O, agaknya Ki Tumenggung ingin menunjukkan kepadaku sebuah ilmu pedang yang nggegirisi. Baiklah, aku juga akan menggunakan kerisku ini. Hati-hatilah Ki Tumenggung. Goresan sekecil apapun dari kerisku, sudah cukup mengantarkan nyawamu ke alam kelanggengan.” Selesai berkata demikian, Pangeran Ranapati segera menghunus sebilah keris yang terselip di pinggangnya. Sebuah keris yang berwarna kehitam-hitam dan berluk sembilan. Berdesir jantung Ki Tumenggung begitu melihat ujud keris lawannya. Keris itu pasti mengandung warangan yang sangat kuat. Dengan sebuah goresan kecil sekali saja, nyawanya tidak akan tertolong lagi. Sejenak kemudian keduanya segera terlibat dalam pertempuran yang dahsyat. Ilmu pedang Ki Tumenggung ternyata tidak dapat dipandang sebelah mata. Bilah pedang itu bagaikan menjadi berpuluh-puluh dan mengurung lawannya dari segala penjuru. Namun lawannya adalah orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati. Untuk beberapa saat memang dia terlihat terdesak beberapa langkah mundur. Namun itu hanya berlangsung beberapa saat. Ketika Pangeran Ranapati telah menemukan titik kelemahan permainan pedang lawannya, keris di tangannya segera berputaran dan mengeluarkan asap tipis berwarna kehitam-hitaman. Ki Tumenggung benar-benar telah kehilangan akal. Ilmu pedangnya tidak mampu menembus pertahanan lawan, bahkan kini kembali dirinya yang terdesak mundur. Tidak ada jalan lain baginya selain mengetrapkan puncak ilmunya, apapun yang terjadi. “Jika ilmu pamungkasku kali ini membentur kekuatan yang tak tertahankan, setidak-tidaknya aku telah melakukan sebuah usaha,” berkata Ki Tumenggung dalam hati. Demikianlah akhirnya. Setelah melihat tidak ada jalan lain, selain membenturkan puncak ilmunya, Ki Tumenggung pun segera bersiap. Ketika kesempatan itu akhirnya datang, dengan cepat Ki Tumenggung segera meloncat beberapa langkah ke belakang. Begitu kedua kakinya menginjak tanah, disilangkan pedang panjang itu di depan dadanya. Kemudian dengan perlahan ujung pedang itu terjulur ke depan mengarah dada lawan. Sementara tangan kirinya terkepal sejajar lambung. Pangeran Ranapati yang melihat lawannya meloncat mundur tidak berusaha mengejar. Dengan tenang ditunggunya serangan pamungkas lawannya. Yang terjadi kemudian adalah benar-benar dahsyat. Dengan sebuah teriakan menggelegar ki Tumenggung Purbarana meloncat tinggi. Pedang panjangnya terayun deras mengarah kepala lawannya. Sebuah senyum tipis terlihat di bibir pangeran yang keras hati itu. Setelah sekejap merangkapkan tangan kiri beserta tangan kanan yang menggenggam keris di depan dada, dengan tenang Pangeran Ranapati segera mengangkat senjatanya ke atas kepalanya untuk menangkis serangan lawan. Bersambung ke Jilid 416 > Pages 1 2 3 . 9 88 114 114 465 152 360 53

api di bukit menoreh 415