Ilustrasi kumpulan puisi karya Taufik Ismail, foto ThoughtCatalog / Pixabay4 Kumpulan Puisi Karya Taufik Ismail yang Penuh MaknaIlustrasi kumpulan puisi karya Taufik Ismail, Gambar oleh Michal Jarmoluk dari PixabayAnakku bertanya padakuMengapa Rasul itu mulia?Rasul mulia, hai anakkuKarena dia sederhanaMengapa Rasul utusan Tuhan?Karena dia tak pernah gentarBerkata benar, hai anakkuDialah kejujuranTutur kata amat lemah lembutnyaHidupnya yang penuh cintaDia sering lapar dan berpakaian tuaDialah cahaya kitaAlmamater, janganlah bersedihBila arakan ini bergerak perlahanMenuju pemakamanSiang iniAnakmu yang beraniTelah tersungkur ke bumiKetika melawan adalah yang harus kaulakukanIalah menyampaikan kebenaranJika adalah yang tidak bisa dijual-belikanIalah yang bernama keyakinanJika adalah yang harus kau tumbangkanIalah segala pohon-pohon kezalimanJika adalah orang yang harus kauagungkanIalah hanya Rasul TuhanJika adalah kesempatan memilih matiIalah syahid di jalan Illahi
DENGANPUISI AKU(Taufiq ismail) Dengan puisi aku bernyanyi. Sampai senja umurku nanti. Dengan puisi aku bercinta. Berbaur cakrawala. Dengan puisi aku mengenang. Keabadian Yang Akan Datang. Dengan puisi aku menangis. Jarum waktu bila kejam mengiris. Puisi Karya Taufik Ismail – Siapa yang tidak mengenal sosok aktivis, sastrawan dan penyair terkenal bernama Taufik ismail? Puisi-puisi sang pujangga, selalu memiliki pesan-pesan moral yang mendalam. Taufik Ismail tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca, sehingga tidak heran jika ia telah bercita-cita menjadi seorang sastrawan sejak masih duduk di bangku SMA. Selain menjadi sastrawan, ia juga menjadi dokter hewan dan ahli peternakan karena ingin memiliki bisnis peternakan guna menafkahi cita-cita kesastraannya. Bagaimana? Begitu menarik bukan sosok sang pujangga? Pada artikel ini kita akan mengulas tentang makna di balik beberapa puisi karya beliau yang syarat akan makna dan pesan kehidupan. Puisi Karya Taufik Ismail Singkat Paling Terkenal Beberapa puisi yang akan kita bahas antara lain Kerendahan Hati Kalau engkau tak mampu menjadi beringin Yang tegak di puncak bukit Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik, Yang tumbuh di tepi danau Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar, Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang Memperkuat tanggul pinggiran jalan Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya Jadilah saja jalan kecil, Tetapi jalan setapak yang Membawa orang ke mata air Tidaklah semua menjadi kapten Tentu harus ada awak kapalnya…. Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi Rendahnya nilai dirimu Jadilah saja dirimu…. Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri Puisi tersebut bertema tentang kerendahan hati yang dimiliki oleh seseorang. Pada kalimat “Yang tegak di puncak bukit” kita dapat melihat bahwa penulis menggunakan citraan penglihatan, dimana penulis seolah-olah melihat dan mempengaruhi pembaca untuk seolah-olah melihat sesuatu yang tegak di puncak bukit. Pada kalimat “Jalan setapak yang membawa orang ke mata air” penulis menggunakan majas personifikasi, yaitu jenis majas yang membuat benda mati seolah-olah hidup. Pada kalimat “menjadi jalan raya” penulis menggunakan majas metafora, yaitu jenis majas perumpamaan. Pada kalimat “menjadi jalan raya” penulis menggunakan majas hiperbola, penulis menyampaikan sesuatu secara berlebihan. Puisi tersebut dituliskan dengan tujuan dan amanat untuk mengajak seseorang agar selalu bersikap rendah hati dan tidak sombong, serta menjadikan hidup yang lebih bermanfaat untuk orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak akan terlepas dari peranan orang lain sehingga sangat penting untuk kita agar bersikap rendah hati. Dengan Puisi, Aku Dengan puisi aku bernyanyi Sampai senja umurku nanti Dengan puisi aku bercinta Berbatas cakrawala Dengan puisi aku mengenang Keabadian Yang Akan Datang Dengan puisi aku menangis Jarum waktu bila kejam mengiris Dengan puisi aku mengutuk Nafas zaman yang busuk Dengan puisi aku berdoa Perkenankanlah kiranya Pada puisi di atas penulis mencoba menyampaikan tentang kegunaan puisi, penulis berusaha menggambarkan curahan hatinya pada puisinya. Dengan berpuisi, penulis menuangkan segala suasana hatinya hingga segala peristiwa yang dialaminya. Pada puisi di atas, penulis tidak lupa menyampaikan nasihat bahwa kita harus terus berkarya, memperdulikan lingkungan sekitar kita, serta mengajak untuk sejenak merenungkan diri dan terus berdoa. Puisi ini memiliki unsur tentang kemanusiaan yang sangat kental. Penulis berusaha menceritakan keyakinannya bahwa manusia memiliki martabat yang tinggi, oleh karena itu manusia harus dihargai. Karangan Bunga Tiga anak kecil Dalam langkah malu-malu Datang ke salemba Sore itu. “Ini dari kami bertiga Pita hitam pada karangan bunga Sebab kami ikut berduka Bagi kakak yang ditembak mati Siang tadi Puisi di atas bertema tentang kepahlawanan. Hal tersebut didasari bahwa puisi dituliskan sang pujangga sebagai gambaran kejadian setelah terjadinya peristiwa penembakan terhadap seorang mahasiswa Universitas Indonesia, oleh pasukan Tjakrabirawa. Kejadian tersebut lantas mengundang simpati dan duka seluruh rakyat Indonesia, bahkan simpati dari mereka yang tak paham akan apa yang terjadi dibalik demonstrasi tersebut yang digambarkan Taufiq dengan sosok Tiga anak kecil’ yang masih lugu dan malu-malu’. Karangan bunga berpita hitam yang mereka bawa sebagai lambang suasana berkabung dan duka. Di dalam puisi, penulis juga menyampaikan amanat agar kita hendaknya mengingat dan mengenang jasa para pahlawan yang telah rela berkorban untuk Negara kita. Membaca Tanda-Tanda Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan dan meluncur lewat sela-sela jari kita Ada sesuatu yang mulanya tidak begitu jelas tapi kita kini mulai merindukannya Kita saksikan udara abu-abu warnanya Kita saksikan air danau yang semakin surut jadinya Burung-burung kecil tak lagi berkicau pergi hari Hutan kehilangan ranting Ranting kehilangan daun Daun kehilangan dahan Dahan kehilangan hutan Kita saksikan zat asam didesak asam arang dan karbon dioksid itu menggilas paru-paru Kita saksikan Gunung membawa abu Abu membawa batu Batu membawa lindu Lindu membawa longsor Longsor membawa air Air membawa banjir Banjir air mata Kita telah saksikan seribu tanda-tanda Bisakah kita membaca tanda-tanda? Allah Kami telah membaca gempa Kami telah disapu banjir Kami telah dihalau api dan hama Kami telah dihujani api dan batu Allah Ampunilah dosa-dosa kami Beri kami kearifan membaca tanda-tanda Karena ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan akan meluncur lewat sela-sela jari Karena ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas tapi kini kami mulai merindukannya Dalam puisi di atas, penulis mengajak pembaca untuk mencoba melihat, membaca dan memahami tanda-tanda yang alam berikan di sekitar kita. Pembaca diajak agar sadar dengan perubahan alam yang terjadi dimana alam yang dulunya asri, indah dan nyaman, kini menjadi rusak oleh tangan manusia. Penulis juga mengungkapkan kerinduannya dengan keindahan alam yang dahulu. Di dalam puisi, kita juga dapat menemukan ungkapan kekesalan yang dirasakan penulisnya. Penulis juga memberi amanat agar kita lebih peduli dengan gejala-gejala alam yang sering terjadi serta memahami arti penting menjaga lingkungan. Bagaimana? Sangat indah dan penuh makna kehidupan bukan beberapa puisi karya sang pujangga Taufik Ismail di atas? Pada dasarnya puisi memang digunakan sebagai media penyampai pesan, sehingga tidak heran jika penulis menyampaikan amanat-amanat yang mendalam dan berkaitan dengan kehidupan kita. Sikap rendah hati, mengingat jasa pahlawan serta membaca tanda-tanda alam dapat menjadi renungan tersendiri dalam diri kita. karya: Taufik Ismail. A. Unsur Intrinsik. Dalam puisi "Kerendahan Hati" karya Taufik Ismail menceritakan tentang kehidupan yang baik untuk seseorang yaitu menjadi pribadi yang rendah hati dan dalam hidupnya bisa selalu bermanfaat bagi orang lain, selalu menjadi diri sendiri sebaik-baiknya diri sendiri.Taufiq Ismail. Foto Puisi Taufiq IsmailIlustrasi Kumpulan Puisi Taufiq Ismail. Foto anak kecilDalam langkah malu-maluDatang ke salembaSore itu.“Ini dari kami bertigaPita hitam pada karangan bungaSebab kami ikut berdukaBagi kakak yang ditembak matiSiang tadiDengan puisi aku bernyanyiSampai senja umurku nantiDengan puisi aku bercintaBerbatas cakrawalaDengan puisi aku mengenangKeabadian Yang Akan DatangDengan puisi aku menangisJarum waktu bila kejam mengirisDengan puisi aku mengutukNafas zaman yang busukDengan puisi aku berdoaPerkenankanlah kiranyaKalau engkau tak mampu menjadi beringinYang tegak di puncak bukitJadilah belukar, tetapi belukar yang baik,Yang tumbuh di tepi danauKalau kamu tak sanggup menjadi belukar,Jadilah saja rumput, tetapi rumput yangMemperkuat tanggul pinggiran jalanKalau engkau tak mampu menjadi jalan rayaJadilah saja jalan kecil,Tetapi jalan setapak yangMembawa orang ke mata airTidaklah semua menjadi kaptenTentu harus ada awak kapalnya….Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggiRendahnya nilai dirimuJadilah saja dirimu….Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri
1966 Puisi Karya Taufik Ismail - Kita Adalah Pemilik Sah Republik Inimerupakah puisi perjuangan atau puisi kemerdekaan karya Taufik Ismail, yang merupakan sebuah kritik terhadap pemerintahan yang tidak bisa mensejahterakan rakyatnya, meskipun sudah merdeka. Puisi yang penuh ironi dan sinisme ini adalah ungkapan keprihatinan taufik ismail
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Siapa yang tidak kenal dengan Taufik Ismail, beliau adalah seorang sastrawan senior yang dimiliki oleh Indonesia. Pria kelahiran Bukittinggi, 25 Juni 1935 ini dibesarkan dari keluarga guru dan wartawan, pengaruh lingkungan ini mempengaruhinya menjadi lebih peka dan kritis terhadap kehidupan di sekitar. Hal inilah yang membuatnya menjadi seorang sastrawan hebat pada masanya melalui puisi-puisinya yang melegenda. Puisi-puisi Taufik Ismail lebih sering mengangkat tema perjuangan dan nasionalisme. Bahkan hingga saat ini nama dan karyanya tetap dikenal oleh generasi sekarang, salah satu karya puisinya yang cukup terkenal berjudul "Sebuah Jaket Berlumur Darah" yang merupakan puisi yang mengusung sebuah perjuangan, berikut puisi berjudul "Sebuah Jaket Berlumur Darah" karya Taufik jaket berlumur darahKami semua telah menatapmu Telah berbagi duka yang agung Dalam kepedihan bertahuntahunSebuah sungai membatasi kitaDi bawah terik matahari JakartaAntara kebebasan dan penindasan Berlapis senjata dan sangkur bajaAkan mundurkah kita sekarangSeraya mengucapkan 'Selamat tinggal perjuangan' 1 2 3 Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beranda» Wawasan » Pokok dan Tokoh » Taufik Ismail. Taufik Ismail. Selasa, 30/06/2009 - 02 Pada April 1993 ia membaca puisi tentang Syekh Yusuf dan Tuan Guru, para pejuang yang dibuang VOC ke Afsel 3 abad (1977), South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand (1994), Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994). 2 kali ia